Di penutup abad ke-20, dunia menyaksikan kemunculan gelombang besar
demokratisasi dan ekonomi pasar berskala global. Sejalan dengan kedua
gelombang besar ini, muncul paradigma baru mengenai tata ekonomi dan
politik global. Paradigma ini-Good Governance (tata ekonomi, politik, dan
sosial yang baik)-merupakan revisi dari paradigma lama yang memandang
bahwa arena global sebagai jalan raya ekonomi, bebas dari gesekan sosial
dan politik. Negara, dalam pandangan ini, memainkan peran yang sangat
terbatas dalam pengelolaan ekonomi. Dengan kata lain, peran institusi
pasar semakin dominan, sedangkan peran institusi negara semakin mengecil.
PARADIGMA Good Governance (GG) menekankan arti penting kesejahteraan
hubungan antara institusi negara, pasar, dan masyarakat. GG kini telah
menjadi ideologi lembaga-lembaga donor internasional (World Bank, UNDP,
European Bank for Reconstruction and Development, dan Asian Development
Bank) dalam mendorong negara-negara anggotanya menghormati prinsip-prinsip
ekonomi pasar dan demokrasi sebagai prasyarat menjadi pemain dalam
pergaulan internasional abad ke-21.
Kemunculan kepemimpinan politik dengan legitimasi yang kuat di Tanah air
sesungguhnya merupakan momentum historis terselenggaranya tata ekonomi,
politik dan masyarakat yang baik. Persoalannya adalah mungkinkah para
pemimpin politik di Tanah air dapat menjalankan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam paradigma ini, mengingat kekacauan ekonomi dan politik
pada tingakat institusi negara, pasar dan masyarakat hingga kini tidak
kunjung usai? Prakondisi sosial politik apa yang harus dipenuhi agar
prinsip GG setapak demi setapak dapat berjalan? Konsekuensi-konsekuensi
ekonomi politik apa yang mungkin terjadi bila paradigma ini gagal
dijalankan?
Troika: negara, pasar, dan masyarakat
GG adalah paradigma pembangunan yang paling komprehensif yang pernah
dikembangkan oleh lembaga-lembaga donor nasional. Paradigma ini muncul
sebagai reaksi atas dua kecenderungan utama yang terjadi di panggung
ekonomi dan politik dunia pada dasawarsa 1990.
Pertama, meningkatnya biaya sosial politik suatu negara akibat penerapan
program structural adjustment yang diprakarsai oleh IMF dan Bank Dunia.
Program ini pada asumsi bahwa negara merupakan satu-satunya lembaga yang
menghambat proses globalisasi ekonomi. Para pencetus program ini
memimpikan terwujudnya arena global sebagai jalan raya ekonomi bebas
hambatan. Tumpukan regulasi resmi dan liar dari pemerintah maupun kroninya
yang mengganggu kelangsungan mesin ekonomi ini harus dikubur. Namun
pengalaman menunjukkan bahwa program ini kurang berhasil dalam memangkas
tumpukan regulasi tersebut. Sebaliknya, rentetan regulasi baru muncul
dalam kebijakan makro ekonomi suatu negara dan kesemuanya ini
melanggengkan kroni-isme dan korupsi.
Kedua, kemunculan fenomena baru yang oleh Samuel Huntington disebut
sebagai gelombang ketiga demokratisasi berskala global (the third wave of
global democratisation). Gelombang ini muncul di Korea Selatan dan
negara-negara Amerika Latin, menenggelamkan sistem politik birokratik
otoritarianisme pada dasawarsa 1980, menyapu bersih sosialisme otoriter di
Eropa Timur awal dasawarsa 1990, dan mencapai klimaksnya di Indonesia
ketika Presiden Soeharto ditaklukkan oleh kekuatan keuangan global dan
gerakan pro-demokrasi di Tanah Air tahun 1998. Lembaga-lembaga donor
internasional sepenuhnya menyadari arti penting gelombang besar ini dalam
mewujudkan sistem ekonomi dan politik global yang sustainable.
Ketiga, kecenderungan utama inilah yang mendorong pentingnya meletakkan
dengan sejajar peran tiga institusi makro: negara, pasar (ekonomi), dan
masyarakat sebagai troika dalam membangun Good Governance (UNDP, 2000).
Asumsi dan argumen state declines, market reigns sebagai akibat
globalisasi sudah barang tentu tidak dapat dipertahankan lagi. Gagasan
kesejajaran ini mengandung arti akan pentingnya redefinisi peran dan
hubungan ketiga institusi ini dalam mengelola sumber daya ekonomi,
politik, an kebudayaan yang tersedia di masyarakat. Para penganjur
paradigma ini memimpikan munculnya hubungan yang relatif harmonis antar
ketiga institusi tersebut sehinggs terwujud negara yang bersih dan
responsif (clean and responsive state), semaraknya masyarakat sipil
(vibrant civil society), dan kehidupan bisnis yang bertanggung jawab (good
corporate governance).
Isu sentral paradig,a GG ini adalah bagaimana suatu bangsa dapat
menciptakan dan memperluas kepercayaan (trust) antarwarga, profesi,dan
bangsa lain dalam membangun hubungan politik, ekonomi maupun
kemasyarakatan. Berbeda dengan pandangan kebanyakan pengamat sosial
politik di Tanah Air, pemikiran mengenai trust (dan distrust) dalam
paradigma ini erat kaitannya dengan cara para pemimpin politik membangun
mekanisme distribusi sumber daya ekonomi, politik, dan kebudayaan yang
tersedia di masyarakat. Bagaimana mekanisme distribusi ini dibangun?
Apakah mekanisme ini dibangun oleh kelompok politik yang memiliki
pandangan yang sempit, ataukah melibatkan berbagai macam kelompok politik
lain?
Misi utama paradigma GG adalah merubah wajah wilayah politik dari arena
penegasan identitas kelompok menjadi arena demokrasi. Suatu arena ditandai
oleh semaraknya kehidupan pelbagai perkumpulan atau organisasi sukarela
(self societal organisations) yang menghormati prinsip universalisme dan
mencintai penyelesaian konflik secara damai. Namun kemunculan dan
perkembangan organisasi ini akan selalu ditentukan oleh dua kondisi yang
saling mengelilinginya.
Pertama, pentingnya kompetensi pemimpin di setiap organisasi. Ini berarti
bahwa seorang pemimpin perlu memiliki kemampuan membangun 'podium' sebagai
arena perdebatan antar anggota untuk membahas dan memecahkan
persoalan-persoalan kemasyarakatan yang dihadapinya. Kompetensi juga
berarti penghindaran elemen primordialisme dalam mobilisasi anggota untuk
mencapai tujuan-tujuan yang diperjuangkannya.
Kedua, pentingnya kehadiran institusi negara yang kuat. Ini berarti bahwa
negara harus mengembangkan dan menegakkan rule of law sebagai instrumen
untuk mengendalikan seluruh aktor seperti politisi, birokrat, pengusaha,
an warag masyarakat dari pelbagai macam penyimpangan. Aturan permainan
dalam kehidupan berdemokrasi, berbisnis, dan penyelenggaraan pemerintahan
harus terkandung dalam prinsip rule of law. Penegakkan prinsip ini dapat
mendorong kemunculan tradisi transparansi dan akuntabilitas publik dalam
setiap langkah pengambilan keputusan.
Sejarah kegagalan ekonomi politik Indonesia sesungguhnya adalah sejarah
kegagalan institusi negara membangun dan menegakkan prinsip rule of law.
Kita tidak perlu jauh menengok ke belakang menelusuri dan menganalisis
proses kegagalan ini. Kita tidak perlu menganalisis kegagalan 'politik
benteng' sebagai reaksi Indonesia menanggapi penetrasi ekonomi pasar pada
dasawarsa 50-an. Kita cukup menengok krisis ekonomi dan politik baru-baru
ini yang daya pukulnya bagi masyarakat Indonesia digambarkan pers Barat
sebagai pasien yang menjalani operasi besar tanpa pembiusan. Sumber utama
dari krisis ini adalah runtuhnya penghormatan institusi negara atas
prinsip rule of law sebagai kerangka pengaturan kehidupan masyarakat
modern. Akibatnya, kroniisme sebagai perwujudan bekerjanya ersatz
capitalism (kapitalisme palsu) berkembang dan merusak tubuh ekonomi,
politik dan hukum masyarakat Indonesia. Kapitalisme semacam ini pulalah
yang membentuk negara Orde Baru menjadi negara predator. Suatu sifat dari
negara yang memiliki mekanisme menelan seluruh dasar-dasar kepercayaan
yang dimiliki oleh setiap perkumpulan kemasyarakatan.
Di samping penghormatan terhadap rule of law, misi paradigma GG adalah
membangun kapabilitas institusi negara dalam mengelola dan
mendistribusikan barang-barang publik. Ini berarti bahwa para pemimpin
birokrasi negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) harus memiliki
kompetensi dalam menyusun kebijakan dan membangun koordinasi antar mereka
maupun dengan kalangan masyarakat dan bisnis. Oleh karena itu, partnership
antar masyarakat, negara, dan pengusaha dalam setiap tingkat pengambilan
keputusan publik adalah suatu keniscayaan.
Gus Dur membangun era kemasyarakatan
Dalam suatu artikel yang dimuat oleh media nasional sebelum Pemilu 1999
berlangsung, penulis menyerukan pentingnya kemunculan pemimpin moralis
yang dapat menyelamatkan Indonesia dari pelukan neo autoritarianisme (the
Jakarta Post, 8 Desember 1998). Tiada satu pun pemimpin politik yang
meramalkan, kecuali karena keberuntungan sejarah (historical luckiness),
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), seorang pemikir modern, moralis, ulama,
penganjur kebebasan berpikir, terpilih secara demokratis sebagai presiden
keempat RI.
Harapan penulis akan munculnya era baru di Tanah Air semakin membesar
ketika di minggu pertama masa kepresidenannya, Gus Dur menyibak kepingan
visinya. ia mengatakan,..."Biarkanlah masyarakat Indonesia memilih dan
menggunakan informasi yang mereka ingin kembangkan sendiri tanpa campur
tangan pemerintah. Kini zaman telah berubah". Tidaklah meragukan kepingan
visi ini sejalan dengan bergesernya paradigma global mengenai hubungan
negara masyarakat. Kepingan visi ini semakin jelas bentuknya ketika
Presiden membuka wacana strategis mengenai perlunya mengganti Ketua
Mahkamah Agung, membentuk Komisi Ombudsman dan Komisi Independen
Pemberantasan Korupsi.
Rangkaian langkah politik ini mengandung arti bahwa Presiden memimpikan
terselenggaranya institusi negara yang kuat (strong state) sebagai
prasyarat tumbuhnya era kemasyarakatan di Indonesia. Namun, pertanyaannya
adalah mungkinkah pemerintah Gus Dur mampu meletakkan fondasi yang kokoh
sebagai landasan kemunculan era kemasyarakatan? Suatu era ditandai oleh
kesemarakan masyarakat sipil, institusi negara yang kuat, dan dunia bisnis
yang bertanggung jawab. Biaya ekonomi politik apakah bila negeri ini gagal
menjalankan program GG, suatu program yang telah menjadi ideologi
lembaga-lembaga donor internasional?.
Presiden Abdurrahman Wahid mewarisi persoalan politik, ekonomi dan
kemasyarakatan luar biasa yang ditinggalkan oleh pemerintahan masa lalu.
Besaran perrsoalan ini telah mengakibatkan kerusakan akut landasan
institusional kehidupan dan berbangsa. Krisis Indonesia yang kini sedang
kita alami bukan saja telah memukul mayoritas masyarakat Indonesia, namun
juga melumpuhkan hubungan antarnegara dan masyarakat. Tidaklah berlebihan
bila kita mulai merisaukan efektivitas langkah politik Abdurrahman Wahid
dalam meletakkan fondasi yang kokoh terselenggaranya tata politik, ekonomi
dan masyarakat yang baik. Kerisauan ini bersumber dari kelemahan para
politisi dan pemimpin lembaga negara dalam memahami visi mengenai era baru
yang telah dicanangkan oleh Abdurrahman Wahid.
Di tengah-tengah kelumpuhan institusional ini, tiga tantangan (dilema)
besar menghadang masa depan Indonesia.
Pertama, restrukturisasi ekonomi sebagai awal pemulihan ekonomi. Persoalan
ekonomi Indonesia sesungguhnya bersumber dari perusakan secara sistematis
dasar-dasar institusional pengelolaan dan distribusi sumber ekonomi.
Bisnis dan politik, dua institusi yang memiliki prinsip pengaturan yang
berbeda, menyatu dan melahirkan bentuk kroni-isme paling buruk dalam
sejarah ekonomi di Asia (Yoshihara Kuno, 1999). Transparansi dan
akuntabillitas publik dalam alokasi sumber ekonomi gagal berkembang dalam
dunia bisnis. Akibatnya, wilayah bisnis di Tanah Air tidak dapat
berkembang sebagai arema of civilising society. Itulah sebabnya lembaga
perbankan, sebagai pusat pengalir darah ke dalam seluruh tubuh ekonomi
Indonesia, kini mengalami kelumpuhan.
Di saat runtuhnya dasar-dasar institusional ini, Indonesia harus menjawab
pertanyaan, ke arah mana tantangan ekonomi pasar hendak dijawab. Desakan
ke arah ekonomi pasar adalah suatu keniscayaan mengingat negeri ini telah
menjadi pesakitan IMF. Pilihan tak terelakkan akan sistem ekonomi ini
mendorong Indonesia terpaksa melakukan pencabutan subsidi dan perampingan
organisasi industri korporat. Langkah-langkah makro ekonomi ini sudah
barang tentu mengakibatkan terjadinya proses inklusi dan eksklusi yang
relatif keras. Proses ini kini sedang berjalan di Tanah Air lewat
radikalisasi karyawan dan buruh yang tersisih akibat politik perampingan
ini. Bila revolusi diartikan sebagai tuntutan politik terus menerus maka
dalam waktu yang tidak terlalu lama, besar kemungkinan arena publik akan
menjadi medan pertempuran dua jenis revolusi yang saling bertolak
belakang: revolusi kebebasan ekonomi dan revolusi solidaritas ekonomi.
Kini tanda-tanda penghindaran terjadinya benturan antara dua revolusi ini
mulai muncul dengan realokasi sejumlah investasi ke negara lain oleh
investor asing. Mampukah institusi negara menjamin kaamanan bisnis di
Tanah Air? Mampukah negara mencari jalan keluar mengatasi ratusan ribu
karyawan dan buruh yang terlempar dari sektor ini? Mampukah negara
membangun 'jembatan sosial- yang dapat mendamaikan perbedaan kedua
kepentingan ini/
Isu mengenai keadilan juga akan terus mewarnai wilayah ekonomi kita.
Persoalan hak, selalu merupakan reinterpretasi antara masalah moral dan
standar universal dengan kondisi struktural suatu masyarakat. Negara Orde
Baru telah mengabaikan ketiga dimensi ini dalam pengelolaan sumber daya
ekonomi yang ada di masyarakat. Protes, demonstrasi, dan pengrusakan di
wilayah pertambangan dan perkebunan telah menjadi berita utama surat kabar
lokal di berbagai tempat di Indonesia. Sumber utama dari persoalan ini
adalah ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat lokal dalam proses
pembebasan lahan. Benturan keras antara masyarakat lokal di satu pihak dan
pengusaha dan pemerintah di lain pihak telah melumpuhkan beroperasinya
kedua bidang usaha tersebut. Keseluruhan persoalan ekonomi politik
tersebut telah menyulitkan kepemimpinan nasional sekarang menjalankan
program stabilisasi dan restrukturisasi ekonomi.
Kedua, disorientasi institusi negara. Meskipun di waktu lalu, institusi
negara telah digunakan sebagai perpanjangan kepentingan kelompok, kini,
Presiden Abdurrahman Wahid tetap perlu meletakkan institusi ini sebagai
instrumen penting dalam menyelesaikan berbagai masalah. Saat ini negara
menangani segala macam persoalan raksasa, dari mulai masalah ekonomi
seperti rekapitalisasi perbankan, kemiskinan, perbaikan kesejahteraan, dan
kekacauan distribusi hingga masalah politik seperti pengadilan HAM,
tuntutan daerah, dan penanganan hukum mantan Presiden Soeharto. Dengan
banyaknya masalah itu, pemerintah belum mampu membangun landasan ekonomi
jangka panjang, yaitu reorientasi birokrasi, arah industri, peran ekonomi
kerakyatan, pembangunan institusi hukum, dan penegakan hukum yang cepat
dan adil. Kesemuanya itu amat diperlukan agar Indonesia tidak menjadi
bangsa yang hidup dari utang sampai waktu yang tidak terbayangkan.
Persoalannya, kepemimpinan nasional saat ini belum ditunjang oleh lapisan
kabinet yang mampu merancang landasan tersebut. Setelah pemerintahan
Abdurrahman Wahid berjalan lebih dari enam bulan, para pemimpin politik
dan birokrat ekonomi belum mampu menunjukkan kecerdasannya dalam melakukan
pilihan mengenai kebijakan pemulihan ekonomi. Para birokrat pemerintahan
lebih menyibukkan diri mengurusi soal-soal teknis seperti kenaikan
tunjangan struktural pejabat tinggi ketimbang memikirkan pentingnya
melakukan redefinisi dan reorientasi institusi ini. Para pemimpin yang
menangani sektor kesejahteraan sosial juga belum memiliki kecerdasan dalam
merumuskan kebijakan mengenai pengembangan masyarakat sipil.
Semua kelemahan ini dibarengi oleh ketiadaan kohesi struktur wewenang di
dalam institusi birokrasi itu sendiri.Saat ini birokrasi negara dalam
keadaan tanpa kohesi kepemimpinan setelah dicabutnya prinsip
monoloyalitas. Akibatnya, struktur wewenang di dalam dan antar
lembaga-lembaga negara menjadai longgar, dan hal ini memberi peluang
munculnya penyalahgunaan jabatan. Di saat negeri ini berjuang melepaskan
diri dari krisis, kini muncul kecenderungan yang semakin menguat perubahan
bentuk korupsi ke arah yang membahayakan. Bila pada zaman Orba, korupsi
dikendalikan oleh pusat pengambilan keputusan politik (centralised
corruption), kini korupsi bebas berkembang di pelbagai institusi negara
(desentralised corruption). Persistensi bentuk penyimpangan ini
ditunjukkan oleh laporan yang dibuat oleh Transparasi Internasional yang
tetap menunjukkan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling korup di
dunia. Jika keadaan ini terlalu lama dibiarkan, sementara pemimpin
nasional sibuk mengatasi masalah-masalah politik (bukan politik yang
diselesaikan dengan manajemen), kemungkinan besar itu bisa menjadi salah
satu soal yang mampu menjungkalkan pemimpin nasional
Ketiga, defisit modal sosial di masyarakat. Selama dua tahun terakhir ini,
kita menyaksikan kemunculan aneka ragam ekspresi dan orientasi politik di
arena publik di Tanah Air. Demonstrasi massa, seminar politik, dan talk
show muncul sebagai mata uang baru dalam transaksi politik dan ekonomi
sehari-hari. Ekspresi politik semacam ini sudah barang tentu dapat
mendorong tumbuhnya modal sosial di pelbagai kelompok masyarakat sebagai
elemen penting perkembangan masyarakat sipil (civil society). Suatu
kelompok masyarakat disebut memiliki modal sosial bila di dalam dirinya
berkembang elemen kepercayaan yang mendorong kerja sama antar anggotanya
untuk mencapai tujuan bersama. Kepercayaan yang dibangun bukkanlah
mendasarkan diri pada ikatan primordial yang sempit, namun pada ikatan
civility seperti penghormatan akan pluralisme dan toleransi. Kemunculan
modal sosial semacam ini dapat membentuk arena publik sebagai public
podium, mimbar pertukaran argumentasi dan ekspresi politik secara damai.
Kehidupan masyarakat sipil yang semarak (vibrant civil society ditandai
oleh berkembangnya rentetan panjang kelompok-kelompok masyarakat yang
memiliki modal sosial semacam ini.
Namun, kini kita menyaksikan kecenderungan yang semakin kuat munculnya
public podium yang bersifat merusak tradisi demokrasi di berbagai wilayah
di Tanah Air. Ikatan-ikatan kepercayaan yang dibangun oleh
kelompok-kelompok masyarakat cenderung semakin menyempit, meniadakan
pentingnya pluralisme. Kecenderungan semacam ini sudah barang tentu
mendorong pengerasan batas-batas antar kelompok dalam transaksi ekonomi
dan politik. Akibatnya, arena publik sebagai arena penyelamatan masyarakat
berubah menjadi arena kekerasan politik.
Defisit dan malahan kekosongan modal sosial ini disebabkan warisan
perlakuan institusi negara selama masa Orba dan tidak kompetennya pemimpin
masyarakat masa kini. Warisan ini telah mengakibatkan punahnya energi
sosial mayoritas kelompok kemasyarakatan dalam membangun kebajikan
berdemokrasi. Itulah sebabnya, di zaman reformasi ini, kita menyaksikan
pemimpin masyarakat memanfaatkan anggotanya untuk mencapai tujuan-tujuan
politiknya sendiri. Langkah-langkah politik Abdurrahman Wahid selam ini
sudah barang tentu tidak mencukupi dalam usaha mambangun era
kemasyarakatan. Kita patut merisaukan bekerjanay seluruh kekuatan
kecenderungan destruktif tersebut dalam perkembangan politik di amsa
mendatang.
Hidup bersama demokrasi dan ekonomi pasar?
Demokrasi dan ekonomi pasar adalah dua prinsip pengaturan masyarakat yang
memiliki kemiripan. Keduanya menghormati arti penting kebebasan individu,
pluralisme dan tegaknya rule of law. Namun sejarah ekonomi politik
Indonesia modern adalah sejarah kegagalan hidup bersama demokrasi dan
ekonomi pasar. Kenyataan ini disebabkan oleh rentetan kegagalan para
pemimpin politik dalam membangun dan menegakan rule of law. Aturan
permainan dalam transaksi ekonomi , politik, dan kebudayaan dibangun oleh
kekuasaan politik yang sangat sentralistis.
Bentuk kekuasaan semacam ini juga telah mempunggungi pentingnya penegakkan
hukum yang adil dan cepat. Itulah sebabnya mekanisme pengaturan sumber
ekonomi dan politik cenderung mengabaikan keterlibatan seluruh kekuatan
ekonomi politik yang ada dimasyarakat. Oleh karena itu, transparansi dalam
setiap perumusan kebijakan dan pertanggungjawaban publik pemimpin kepada
warga negaranya tidak dikenal dalam sistem politik seperti ini. Kini,
suatu negara yang mengembangkan makanisme pengaturan ssumber daya semacam
itu sulit memiliki hak hidup dalam tata baru ekonomi dan politik
internasional. Badan dunia seperti PBB dan pelbagai lembaga donor
internasional telah meletakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas
publik sebagai ideologi dalam mendistribusikan pinjaman kepada
negara-negara anggotanya.
Kemunculan lembaga-lembaga baru di bidang penegakkan hukum di Tanah Air
belakangan ini besar kemungkinan hanya akan membuat pemimpinnya menjadi
bintang film baru dalam sinetron politik Indonesia. Oleh karena itu
Presiden Abdurrahman Wahid dan para politisi di lembaga legislatif perlu
mempercepat langkah-langkah politiknya untuk mengatasi kekacauan pada
tingkat masyarakat, birokrasi negara, dan dunia usaha. Reformasi radikal
di sektor institusi penegak hukum (MA, Kejaksaan Agung, Pengadilan, dan
Polri) harus menjadi prioritas pertama. Reformasi ini bukan saja memangkas
peraturan perundang-undangan yang tidak lagi memenuhi tuntutan zaman,
namun juga mengganti seluruh pejabat yang dinilai tidak kredibel dalam
menjalankan tugasnya. Bangsa Indonesia sudah cukup lama mendambakan
munculnya kehidupan ekonomi dan politik yang mudah diramalkan. Dambaan ini
hanya bisa dicapai bila negeri ini berhasil menegakkan rule of law. Oleh
karena itu, tanpa melakukan reformasi radikal di institusi penegak hukum
ini, maka untuk kesekian kalinya negeri ini akan mengalami kegagalan dalam
membangun demokrasi dan dunia bisnis yang bertanggung jawab.
Kedua, pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid perlu merumuskan kebijakan
menyeluruh pembangunan masyarakat sipil (civil society). Kebijakan ini
sangat diperlukan sebagai dasar partnership antara negara dan masyarakat
dalam membangun public podium di arena publik guna memecahkan pelbagai
macam persoalan kemasyarakatan Partnership merupakan kata kunci dalam
kebijakan ini karena memungkinkan kelompok-kelompok masyarakat memainkan
peran penting dalam proses pengambilan keputusan politik termasuk
pengelolaan konflik secara damai. Kedua langkah politik strategis ini
dapat menurunkan tingkat kekacauan yang kini sedang melanda di semua aspek
kehidupan masyarakat. Namun bila pemerintahan Abdurrahman Wahid gagal
melakukan langkah strategis ini, besar kemungkinan Indonesia akan menjadi
negara pariah baru di mata internasional.
* Penulis adalah Sosiologi dan dosen Pascasarjana FISIP-UI
Tulisan ini dikutip dari Harian KOMPAS tanggal 28 Juni 2000, Edisi Khusus:
KOMPAS 35 TH, Pengaruh Sosial
Last Updated: 22/11/00 - Copyright © 2000 Uni Sosial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar