4 Sep 2013

Manifesto POLITIK "Good Governance"

      Di penutup abad ke-20, dunia menyaksikan kemunculan gelombang besar
      demokratisasi dan ekonomi pasar berskala global. Sejalan dengan kedua
      gelombang besar ini, muncul paradigma baru mengenai tata ekonomi dan
      politik global. Paradigma ini-Good Governance (tata ekonomi, politik, dan
      sosial yang baik)-merupakan revisi dari paradigma lama yang memandang
      bahwa arena global sebagai jalan raya ekonomi, bebas dari gesekan sosial
      dan politik. Negara, dalam pandangan ini, memainkan peran yang sangat
      terbatas dalam pengelolaan ekonomi. Dengan kata lain, peran institusi
      pasar semakin dominan, sedangkan peran institusi negara semakin mengecil.


      PARADIGMA Good Governance (GG) menekankan arti penting kesejahteraan
      hubungan antara institusi negara, pasar, dan masyarakat. GG kini telah
      menjadi ideologi lembaga-lembaga donor internasional (World Bank, UNDP,
      European Bank for Reconstruction and Development, dan Asian Development
      Bank) dalam mendorong negara-negara anggotanya menghormati prinsip-prinsip
      ekonomi pasar dan demokrasi sebagai prasyarat menjadi pemain dalam
      pergaulan internasional abad ke-21.

      Kemunculan kepemimpinan politik dengan legitimasi yang kuat di Tanah air
      sesungguhnya merupakan momentum historis terselenggaranya tata ekonomi,
      politik dan masyarakat yang baik. Persoalannya adalah mungkinkah para
      pemimpin politik di Tanah air dapat menjalankan prinsip-prinsip yang
      terkandung dalam paradigma ini, mengingat kekacauan ekonomi dan politik
      pada tingakat institusi negara, pasar dan masyarakat hingga kini tidak
      kunjung usai? Prakondisi sosial politik apa yang harus dipenuhi agar
      prinsip GG setapak demi setapak dapat berjalan? Konsekuensi-konsekuensi
      ekonomi politik apa yang mungkin terjadi bila paradigma ini gagal
      dijalankan?

      Troika: negara, pasar, dan masyarakat
      GG adalah paradigma pembangunan yang paling komprehensif yang pernah
      dikembangkan oleh lembaga-lembaga donor nasional. Paradigma ini muncul
      sebagai reaksi atas dua kecenderungan utama yang terjadi di panggung
      ekonomi dan politik dunia pada dasawarsa 1990.

      Pertama, meningkatnya biaya sosial politik suatu negara akibat penerapan
      program structural adjustment yang diprakarsai oleh IMF dan Bank Dunia.
      Program ini pada asumsi bahwa negara merupakan satu-satunya lembaga yang
      menghambat proses globalisasi ekonomi. Para pencetus program ini
      memimpikan terwujudnya arena global sebagai jalan raya ekonomi bebas
      hambatan. Tumpukan regulasi resmi dan liar dari pemerintah maupun kroninya
      yang mengganggu kelangsungan mesin ekonomi ini harus dikubur. Namun
      pengalaman menunjukkan bahwa program ini kurang berhasil dalam memangkas
      tumpukan regulasi tersebut. Sebaliknya, rentetan regulasi baru muncul
      dalam kebijakan makro ekonomi suatu negara dan kesemuanya ini
      melanggengkan kroni-isme dan korupsi.

      Kedua, kemunculan fenomena baru yang oleh Samuel Huntington disebut
      sebagai gelombang ketiga demokratisasi berskala global (the third wave of
      global democratisation). Gelombang ini muncul di Korea Selatan dan
      negara-negara Amerika Latin, menenggelamkan sistem politik birokratik
      otoritarianisme pada dasawarsa 1980, menyapu bersih sosialisme otoriter di
      Eropa Timur awal dasawarsa 1990, dan mencapai klimaksnya di Indonesia
      ketika Presiden Soeharto ditaklukkan oleh kekuatan keuangan global dan
      gerakan pro-demokrasi di Tanah Air tahun 1998. Lembaga-lembaga donor
      internasional sepenuhnya menyadari arti penting gelombang besar ini dalam
      mewujudkan sistem ekonomi dan politik global yang sustainable.

      Ketiga, kecenderungan utama inilah yang mendorong pentingnya meletakkan
      dengan sejajar peran tiga institusi makro: negara, pasar (ekonomi), dan
      masyarakat sebagai troika dalam membangun Good Governance (UNDP, 2000).
      Asumsi dan argumen state declines, market reigns sebagai akibat
      globalisasi sudah barang tentu tidak dapat dipertahankan lagi. Gagasan
      kesejajaran ini mengandung arti akan pentingnya redefinisi peran dan
      hubungan ketiga institusi ini dalam mengelola sumber daya ekonomi,
      politik, an kebudayaan yang tersedia di masyarakat. Para penganjur
      paradigma ini memimpikan munculnya hubungan yang relatif harmonis antar
      ketiga institusi tersebut sehinggs terwujud negara yang bersih dan
      responsif (clean and responsive state), semaraknya masyarakat sipil
      (vibrant civil society), dan kehidupan bisnis yang bertanggung jawab (good
      corporate governance).

      Isu sentral paradig,a GG ini adalah bagaimana suatu bangsa dapat
      menciptakan dan memperluas kepercayaan (trust) antarwarga, profesi,dan
      bangsa lain dalam membangun hubungan politik, ekonomi maupun
      kemasyarakatan. Berbeda dengan pandangan kebanyakan pengamat sosial
      politik di Tanah Air, pemikiran mengenai trust (dan distrust) dalam
      paradigma ini erat kaitannya dengan cara para pemimpin politik membangun
      mekanisme distribusi sumber daya ekonomi, politik, dan kebudayaan yang
      tersedia di masyarakat. Bagaimana mekanisme distribusi ini dibangun?
      Apakah mekanisme ini dibangun oleh kelompok politik yang memiliki
      pandangan yang sempit, ataukah melibatkan berbagai macam kelompok politik
      lain?

      Misi utama paradigma GG adalah merubah wajah wilayah politik dari arena
      penegasan identitas kelompok menjadi arena demokrasi. Suatu arena ditandai
      oleh semaraknya kehidupan pelbagai perkumpulan atau organisasi sukarela
      (self societal organisations) yang menghormati prinsip universalisme dan
      mencintai penyelesaian konflik secara damai. Namun kemunculan dan
      perkembangan organisasi ini akan selalu ditentukan oleh dua kondisi yang
      saling mengelilinginya.

      Pertama, pentingnya kompetensi pemimpin di setiap organisasi. Ini berarti
      bahwa seorang pemimpin perlu memiliki kemampuan membangun 'podium' sebagai
      arena perdebatan antar anggota untuk membahas dan memecahkan
      persoalan-persoalan kemasyarakatan yang dihadapinya. Kompetensi juga
      berarti penghindaran elemen primordialisme dalam mobilisasi anggota untuk
      mencapai tujuan-tujuan yang diperjuangkannya.

      Kedua, pentingnya kehadiran institusi negara yang kuat. Ini berarti bahwa
      negara harus mengembangkan dan menegakkan rule of law sebagai instrumen
      untuk mengendalikan seluruh aktor seperti politisi, birokrat, pengusaha,
      an warag masyarakat dari pelbagai macam penyimpangan. Aturan permainan
      dalam kehidupan berdemokrasi, berbisnis, dan penyelenggaraan pemerintahan
      harus terkandung dalam prinsip rule of law. Penegakkan prinsip ini dapat
      mendorong kemunculan tradisi transparansi dan akuntabilitas publik dalam
      setiap langkah pengambilan keputusan.

      Sejarah kegagalan ekonomi politik Indonesia sesungguhnya adalah sejarah
      kegagalan institusi negara membangun dan menegakkan prinsip rule of law.
      Kita tidak perlu jauh menengok ke belakang menelusuri dan menganalisis
      proses kegagalan ini. Kita tidak perlu menganalisis kegagalan 'politik
      benteng' sebagai reaksi Indonesia menanggapi penetrasi ekonomi pasar pada
      dasawarsa 50-an. Kita cukup menengok krisis ekonomi dan politik baru-baru
      ini yang daya pukulnya bagi masyarakat Indonesia digambarkan pers Barat
      sebagai pasien yang menjalani operasi besar tanpa pembiusan. Sumber utama
      dari krisis ini adalah runtuhnya penghormatan institusi negara atas
      prinsip rule of law sebagai kerangka pengaturan kehidupan masyarakat
      modern. Akibatnya, kroniisme sebagai perwujudan bekerjanya ersatz
      capitalism (kapitalisme palsu) berkembang dan merusak tubuh ekonomi,
      politik dan hukum masyarakat Indonesia. Kapitalisme semacam ini pulalah
      yang membentuk negara Orde Baru menjadi negara predator. Suatu sifat dari
      negara yang memiliki mekanisme menelan seluruh dasar-dasar kepercayaan
      yang dimiliki oleh setiap perkumpulan kemasyarakatan.

      Di samping penghormatan terhadap rule of law, misi paradigma GG adalah
      membangun kapabilitas institusi negara dalam mengelola dan
      mendistribusikan barang-barang publik. Ini berarti bahwa para pemimpin
      birokrasi negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) harus memiliki
      kompetensi dalam menyusun kebijakan dan membangun koordinasi antar mereka
      maupun dengan kalangan masyarakat dan bisnis. Oleh karena itu, partnership
      antar masyarakat, negara, dan pengusaha dalam setiap tingkat pengambilan
      keputusan publik adalah suatu keniscayaan.

      Gus Dur membangun era kemasyarakatan
      Dalam suatu artikel yang dimuat oleh media nasional sebelum Pemilu 1999
      berlangsung, penulis menyerukan pentingnya kemunculan pemimpin moralis
      yang dapat menyelamatkan Indonesia dari pelukan neo autoritarianisme (the
      Jakarta Post, 8 Desember 1998). Tiada satu pun pemimpin politik yang
      meramalkan, kecuali karena keberuntungan sejarah (historical luckiness),
      KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), seorang pemikir modern, moralis, ulama,
      penganjur kebebasan berpikir, terpilih secara demokratis sebagai presiden
      keempat RI.

      Harapan penulis akan munculnya era baru di Tanah Air semakin membesar
      ketika di minggu pertama masa kepresidenannya, Gus Dur menyibak kepingan
      visinya. ia mengatakan,..."Biarkanlah masyarakat Indonesia memilih dan
      menggunakan informasi yang mereka ingin kembangkan sendiri tanpa campur
      tangan pemerintah. Kini zaman telah berubah". Tidaklah meragukan kepingan
      visi ini sejalan dengan bergesernya paradigma global mengenai hubungan
      negara masyarakat. Kepingan visi ini semakin jelas bentuknya ketika
      Presiden membuka wacana strategis mengenai perlunya mengganti Ketua
      Mahkamah Agung, membentuk Komisi Ombudsman dan Komisi Independen
      Pemberantasan Korupsi.

      Rangkaian langkah politik ini mengandung arti bahwa Presiden memimpikan
      terselenggaranya institusi negara yang kuat (strong state) sebagai
      prasyarat tumbuhnya era kemasyarakatan di Indonesia. Namun, pertanyaannya
      adalah mungkinkah pemerintah Gus Dur mampu meletakkan fondasi yang kokoh
      sebagai landasan kemunculan era kemasyarakatan? Suatu era ditandai oleh
      kesemarakan masyarakat sipil, institusi negara yang kuat, dan dunia bisnis
      yang bertanggung jawab. Biaya ekonomi politik apakah bila negeri ini gagal
      menjalankan program GG, suatu program yang telah menjadi ideologi
      lembaga-lembaga donor internasional?.

      Presiden Abdurrahman Wahid mewarisi persoalan politik, ekonomi dan
      kemasyarakatan luar biasa yang ditinggalkan oleh pemerintahan masa lalu.
      Besaran perrsoalan ini telah mengakibatkan kerusakan akut landasan
      institusional kehidupan dan berbangsa. Krisis Indonesia yang kini sedang
      kita alami bukan saja telah memukul mayoritas masyarakat Indonesia, namun
      juga melumpuhkan hubungan antarnegara dan masyarakat. Tidaklah berlebihan
      bila kita mulai merisaukan efektivitas langkah politik Abdurrahman Wahid
      dalam meletakkan fondasi yang kokoh terselenggaranya tata politik, ekonomi
      dan masyarakat yang baik. Kerisauan ini bersumber dari kelemahan para
      politisi dan pemimpin lembaga negara dalam memahami visi mengenai era baru
      yang telah dicanangkan oleh Abdurrahman Wahid.

      Di tengah-tengah kelumpuhan institusional ini, tiga tantangan (dilema)
      besar menghadang masa depan Indonesia.

      Pertama, restrukturisasi ekonomi sebagai awal pemulihan ekonomi. Persoalan
      ekonomi Indonesia sesungguhnya bersumber dari perusakan secara sistematis
      dasar-dasar institusional pengelolaan dan distribusi sumber ekonomi.
      Bisnis dan politik, dua institusi yang memiliki prinsip pengaturan yang
      berbeda, menyatu dan melahirkan bentuk kroni-isme paling buruk dalam
      sejarah ekonomi di Asia (Yoshihara Kuno, 1999). Transparansi dan
      akuntabillitas publik dalam alokasi sumber ekonomi gagal berkembang dalam
      dunia bisnis. Akibatnya, wilayah bisnis di Tanah Air tidak dapat
      berkembang sebagai arema of civilising society. Itulah sebabnya lembaga
      perbankan, sebagai pusat pengalir darah ke dalam seluruh tubuh ekonomi
      Indonesia, kini mengalami kelumpuhan.

      Di saat runtuhnya dasar-dasar institusional ini, Indonesia harus menjawab
      pertanyaan, ke arah mana tantangan ekonomi pasar hendak dijawab. Desakan
      ke arah ekonomi pasar adalah suatu keniscayaan mengingat negeri ini telah
      menjadi pesakitan IMF. Pilihan tak terelakkan akan sistem ekonomi ini
      mendorong Indonesia terpaksa melakukan pencabutan subsidi dan perampingan
      organisasi industri korporat. Langkah-langkah makro ekonomi ini sudah
      barang tentu mengakibatkan terjadinya proses inklusi dan eksklusi yang
      relatif keras. Proses ini kini sedang berjalan di Tanah Air lewat
      radikalisasi karyawan dan buruh yang tersisih akibat politik perampingan
      ini. Bila revolusi diartikan sebagai tuntutan politik terus menerus maka
      dalam waktu yang tidak terlalu lama, besar kemungkinan arena publik akan
      menjadi medan pertempuran dua jenis revolusi yang saling bertolak
      belakang: revolusi kebebasan ekonomi dan revolusi solidaritas ekonomi.
      Kini tanda-tanda penghindaran terjadinya benturan antara dua revolusi ini
      mulai muncul dengan realokasi sejumlah investasi ke negara lain oleh
      investor asing. Mampukah institusi negara menjamin kaamanan bisnis di
      Tanah Air? Mampukah negara mencari jalan keluar mengatasi ratusan ribu
      karyawan dan buruh yang terlempar dari sektor ini? Mampukah negara
      membangun 'jembatan sosial- yang dapat mendamaikan perbedaan kedua
      kepentingan ini/

      Isu mengenai keadilan juga akan terus mewarnai wilayah ekonomi kita.
      Persoalan hak, selalu merupakan reinterpretasi antara masalah moral dan
      standar universal dengan kondisi struktural suatu masyarakat. Negara Orde
      Baru telah mengabaikan ketiga dimensi ini dalam pengelolaan sumber daya
      ekonomi yang ada di masyarakat. Protes, demonstrasi, dan pengrusakan di
      wilayah pertambangan dan perkebunan telah menjadi berita utama surat kabar
      lokal di berbagai tempat di Indonesia. Sumber utama dari persoalan ini
      adalah ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat lokal dalam proses
      pembebasan lahan. Benturan keras antara masyarakat lokal di satu pihak dan
      pengusaha dan pemerintah di lain pihak telah melumpuhkan beroperasinya
      kedua bidang usaha tersebut. Keseluruhan persoalan ekonomi politik
      tersebut telah menyulitkan kepemimpinan nasional sekarang menjalankan
      program stabilisasi dan restrukturisasi ekonomi.

      Kedua, disorientasi institusi negara. Meskipun di waktu lalu, institusi
      negara telah digunakan sebagai perpanjangan kepentingan kelompok, kini,
      Presiden Abdurrahman Wahid tetap perlu meletakkan institusi ini sebagai
      instrumen penting dalam menyelesaikan berbagai masalah. Saat ini negara
      menangani segala macam persoalan raksasa, dari mulai masalah ekonomi
      seperti rekapitalisasi perbankan, kemiskinan, perbaikan kesejahteraan, dan
      kekacauan distribusi hingga masalah politik seperti pengadilan HAM,
      tuntutan daerah, dan penanganan hukum mantan Presiden Soeharto. Dengan
      banyaknya masalah itu, pemerintah belum mampu membangun landasan ekonomi
      jangka panjang, yaitu reorientasi birokrasi, arah industri, peran ekonomi
      kerakyatan, pembangunan institusi hukum, dan penegakan hukum yang cepat
      dan adil. Kesemuanya itu amat diperlukan agar Indonesia tidak menjadi
      bangsa yang hidup dari utang sampai waktu yang tidak terbayangkan.

      Persoalannya, kepemimpinan nasional saat ini belum ditunjang oleh lapisan
      kabinet yang mampu merancang landasan tersebut. Setelah pemerintahan
      Abdurrahman Wahid berjalan lebih dari enam bulan, para pemimpin politik
      dan birokrat ekonomi belum mampu menunjukkan kecerdasannya dalam melakukan
      pilihan mengenai kebijakan pemulihan ekonomi. Para birokrat pemerintahan
      lebih menyibukkan diri mengurusi soal-soal teknis seperti kenaikan
      tunjangan struktural pejabat tinggi ketimbang memikirkan pentingnya
      melakukan redefinisi dan reorientasi institusi ini. Para pemimpin yang
      menangani sektor kesejahteraan sosial juga belum memiliki kecerdasan dalam
      merumuskan kebijakan mengenai pengembangan masyarakat sipil.

      Semua kelemahan ini dibarengi oleh ketiadaan kohesi struktur wewenang di
      dalam institusi birokrasi itu sendiri.Saat ini birokrasi negara dalam
      keadaan tanpa kohesi kepemimpinan setelah dicabutnya prinsip
      monoloyalitas. Akibatnya, struktur wewenang di dalam dan antar
      lembaga-lembaga negara menjadai longgar, dan hal ini memberi peluang
      munculnya penyalahgunaan jabatan. Di saat negeri ini berjuang melepaskan
      diri dari krisis, kini muncul kecenderungan yang semakin menguat perubahan
      bentuk korupsi ke arah yang membahayakan. Bila pada zaman Orba, korupsi
      dikendalikan oleh pusat pengambilan keputusan politik (centralised
      corruption), kini korupsi bebas berkembang di pelbagai institusi negara
      (desentralised corruption). Persistensi bentuk penyimpangan ini
      ditunjukkan oleh laporan yang dibuat oleh Transparasi Internasional yang
      tetap menunjukkan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling korup di
      dunia. Jika keadaan ini terlalu lama dibiarkan, sementara pemimpin
      nasional sibuk mengatasi masalah-masalah politik (bukan politik yang
      diselesaikan dengan manajemen), kemungkinan besar itu bisa menjadi salah
      satu soal yang mampu menjungkalkan pemimpin nasional

      Ketiga, defisit modal sosial di masyarakat. Selama dua tahun terakhir ini,
      kita menyaksikan kemunculan aneka ragam ekspresi dan orientasi politik di
      arena publik di Tanah Air. Demonstrasi massa, seminar politik, dan talk
      show muncul sebagai mata uang baru dalam transaksi politik dan ekonomi
      sehari-hari. Ekspresi politik semacam ini sudah barang tentu dapat
      mendorong tumbuhnya modal sosial di pelbagai kelompok masyarakat sebagai
      elemen penting perkembangan masyarakat sipil (civil society). Suatu
      kelompok masyarakat disebut memiliki modal sosial bila di dalam dirinya
      berkembang elemen kepercayaan yang mendorong kerja sama antar anggotanya
      untuk mencapai tujuan bersama. Kepercayaan yang dibangun bukkanlah
      mendasarkan diri pada ikatan primordial yang sempit, namun pada ikatan
      civility seperti penghormatan akan pluralisme dan toleransi. Kemunculan
      modal sosial semacam ini dapat membentuk arena publik sebagai public
      podium, mimbar pertukaran argumentasi dan ekspresi politik secara damai.
      Kehidupan masyarakat sipil yang semarak (vibrant civil society ditandai
      oleh berkembangnya rentetan panjang kelompok-kelompok masyarakat yang
      memiliki modal sosial semacam ini.

      Namun, kini kita menyaksikan kecenderungan yang semakin kuat munculnya
      public podium yang bersifat merusak tradisi demokrasi di berbagai wilayah
      di Tanah Air. Ikatan-ikatan kepercayaan yang dibangun oleh
      kelompok-kelompok masyarakat cenderung semakin menyempit, meniadakan
      pentingnya pluralisme. Kecenderungan semacam ini sudah barang tentu
      mendorong pengerasan batas-batas antar kelompok dalam transaksi ekonomi
      dan politik. Akibatnya, arena publik sebagai arena penyelamatan masyarakat
      berubah menjadi arena kekerasan politik.

      Defisit dan malahan kekosongan modal sosial ini disebabkan warisan
      perlakuan institusi negara selama masa Orba dan tidak kompetennya pemimpin
      masyarakat masa kini. Warisan ini telah mengakibatkan punahnya energi
      sosial mayoritas kelompok kemasyarakatan dalam membangun kebajikan
      berdemokrasi. Itulah sebabnya, di zaman reformasi ini, kita menyaksikan
      pemimpin masyarakat memanfaatkan anggotanya untuk mencapai tujuan-tujuan
      politiknya sendiri. Langkah-langkah politik Abdurrahman Wahid selam ini
      sudah barang tentu tidak mencukupi dalam usaha mambangun era
      kemasyarakatan. Kita patut merisaukan bekerjanay seluruh kekuatan
      kecenderungan destruktif tersebut dalam perkembangan politik di amsa
      mendatang.

      Hidup bersama demokrasi dan ekonomi pasar?
      Demokrasi dan ekonomi pasar adalah dua prinsip pengaturan masyarakat yang
      memiliki kemiripan. Keduanya menghormati arti penting kebebasan individu,
      pluralisme dan tegaknya rule of law. Namun sejarah ekonomi politik
      Indonesia modern adalah sejarah kegagalan hidup bersama demokrasi dan
      ekonomi pasar. Kenyataan ini disebabkan oleh rentetan kegagalan para
      pemimpin politik dalam membangun dan menegakan rule of law. Aturan
      permainan dalam transaksi ekonomi , politik, dan kebudayaan dibangun oleh
      kekuasaan politik yang sangat sentralistis.

      Bentuk kekuasaan semacam ini juga telah mempunggungi pentingnya penegakkan
      hukum yang adil dan cepat. Itulah sebabnya mekanisme pengaturan sumber
      ekonomi dan politik cenderung mengabaikan keterlibatan seluruh kekuatan
      ekonomi politik yang ada dimasyarakat. Oleh karena itu, transparansi dalam
      setiap perumusan kebijakan dan pertanggungjawaban publik pemimpin kepada
      warga negaranya tidak dikenal dalam sistem politik seperti ini. Kini,
      suatu negara yang mengembangkan makanisme pengaturan ssumber daya semacam
      itu sulit memiliki hak hidup dalam tata baru ekonomi dan politik
      internasional. Badan dunia seperti PBB dan pelbagai lembaga donor
      internasional telah meletakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas
      publik sebagai ideologi dalam mendistribusikan pinjaman kepada
      negara-negara anggotanya.

      Kemunculan lembaga-lembaga baru di bidang penegakkan hukum di Tanah Air
      belakangan ini besar kemungkinan hanya akan membuat pemimpinnya menjadi
      bintang film baru dalam sinetron politik Indonesia. Oleh karena itu
      Presiden Abdurrahman Wahid dan para politisi di lembaga legislatif perlu
      mempercepat langkah-langkah politiknya untuk mengatasi kekacauan pada
      tingkat masyarakat, birokrasi negara, dan dunia usaha. Reformasi radikal
      di sektor institusi penegak hukum (MA, Kejaksaan Agung, Pengadilan, dan
      Polri) harus menjadi prioritas pertama. Reformasi ini bukan saja memangkas
      peraturan perundang-undangan yang tidak lagi memenuhi tuntutan zaman,
      namun juga mengganti seluruh pejabat yang dinilai tidak kredibel dalam
      menjalankan tugasnya. Bangsa Indonesia sudah cukup lama mendambakan
      munculnya kehidupan ekonomi dan politik yang mudah diramalkan. Dambaan ini
      hanya bisa dicapai bila negeri ini berhasil menegakkan rule of law. Oleh
      karena itu, tanpa melakukan reformasi radikal di institusi penegak hukum
      ini, maka untuk kesekian kalinya negeri ini akan mengalami kegagalan dalam
      membangun demokrasi dan dunia bisnis yang bertanggung jawab.

      Kedua, pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid perlu merumuskan kebijakan
      menyeluruh pembangunan masyarakat sipil (civil society). Kebijakan ini
      sangat diperlukan sebagai dasar partnership antara negara dan masyarakat
      dalam membangun public podium di arena publik guna memecahkan pelbagai
      macam persoalan kemasyarakatan Partnership merupakan kata kunci dalam
      kebijakan ini karena memungkinkan kelompok-kelompok masyarakat memainkan
      peran penting dalam proses pengambilan keputusan politik termasuk
      pengelolaan konflik secara damai. Kedua langkah politik strategis ini
      dapat menurunkan tingkat kekacauan yang kini sedang melanda di semua aspek
      kehidupan masyarakat. Namun bila pemerintahan Abdurrahman Wahid gagal
      melakukan langkah strategis ini, besar kemungkinan Indonesia akan menjadi
      negara pariah baru di mata internasional.


      * Penulis adalah Sosiologi dan dosen Pascasarjana FISIP-UI
      Tulisan ini dikutip dari Harian KOMPAS tanggal 28 Juni 2000, Edisi Khusus:
      KOMPAS 35 TH, Pengaruh Sosial

      Last Updated: 22/11/00 - Copyright © 2000 Uni Sosial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar