8 Okt 2013

Imaging Political


Dalam Negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia, peran dari Media begitu penting. Baik di dalam membawa berita serta informasi, membawa nilai-nilai pendidikan kepada publik, melakukan pengawasan sosial, memberikan hiburan, dan memediasi pewarisan nilai-nilai antargenerasi (Gazali, 2010). Bahkan Media tersebut, sering disebut sebagai Pilar ke-4 di dalam Rumah besar Demokrasi, setelah lembaga-lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.
  
Bergulirnya roda Demokrasi yang dibarengi dengan pelaksanaan Pemilihan Umum (PEMILU), untuk memilih setiap pemimpin di tingkat nasional maupun lokal di Indonesia, telah menjadikan media sebagai salah satu alat utama yang digunakan dalam mendukung Kampanye Politik dari para kandidat calon Pemimpin tersebut.
Mengurai akar Politik Pencitraan
  
Namun, penggunaan berbagai media di dalam mendukung kampanye politik telah banyak disalah artikan dan disalah gunakan, hanya untuk mencapai tujuan sesaat nan pragmatis. Sehingga muncul suatu fenomena yang bernama Politik Pencitraan (Political Imagery).

Politik Pencitraan itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu cara untuk menarik simpati publik dengan menjual hasil-hasil atau pencapaian serta janji-janji semu nan palsu serta mengeksploitasi segala tindakan-tindakan populis yang dibuat-buat dan mengesampingkan berbagai hal-hal yang sebenarnya lebih subtansial dan lebih penting dari pada hanya sekedar mengejar populitaritas citra semata.

Peran dari media dalam korelasi postitifnya untuk memberitahukan tentang keberhasilan-keberhasilan dari pemerintah atau seorang tokoh merupakan hal yang penting. Tanpa peran media dalam memaparkan keberhasilan tersebut, maka yang terjadi keberhasilan tersebut menjadi semu, karena masyarakat tidak mengetahuinya.
Hal tersebut berbeda dengan Politik Pencitraan, karena politik pencitraan ini cenderung bersembunyi di balik suatu keberhasilan-keberhasilan itu sendiri. Dengan politik pencitraan, mereka memberitahukan keberhasilan-keberhasilan semu yang sudah dimanipulasi untuk menipu publik atau masyarakat luas. Itu tak lain dengan tujuan agar membentuk anggapan positif terhadapnya, untuk bagaimana dapat memenangkan setiap ajang kontestasi politik.

Bila kita urai lebih dalam ada tiga faktor penyebab serta pendorong maraknya perilaku Politik Pencitraan ini. Yang Pertama, munculnya industrialisasi/Korporasi Media-media. Dengan adanya industrialisasi/kapitalisasi pada media-media itu telah menimbulkan terseretnya media dalam kepentingan-kepentingan politik/politisasi media, yang telah mengaburkan peran penting dari media itu sendiri yaitu sebagai pembentuk National Building.

Dengan semakin besarnya ketergantungan media kepada iklan sebagai sumber pemasukannya, agar tetap dapat survive menurut McManus (1994: 4-5; 2002: 271) dan Curran (2000: 83) telah mengakibatkan media media modern memiliki kecenderungan menjalankan market-driven journalism. Hal tersebut memiliki kecendrungan munculnya jual-beli program-program media, yang pasti akan menyeret media ke gelanggang Kontestasi Politik pencitraan.

Apalagi jika dilihat berdasarkan hasil survei dari The Asia Foundation pada tahun 2004, yaitu bahwa lebih dari 90 persen masyarakat menggunakan media sebagai sumber informasi pemilihan umum (Tim LSPP, 2005: 2). Dengan demikian menunjukan bagaimana begitu sentralnya peran media didalam mempengaruhi opini publik di dalam memberikan hak suaranya.

Kedua, yaitu adanya pergeseran sifat-sifat dari basis konstituen (Warga Pemilih) yang dewasa ini lebih bergeser ke sifat-sifat konsumerisme, individualis, mudah berubah dan skeptis (J.G Blumler, 2011: 156). Pada basis konstituen yang memiliki kecendrungan konsumerisme, individualis, mudah berubah dan skeptis itu, mereka biasanya merupakan basis pemilih yang bukan simpatisan-simpatisan pada partai-partai tertentu serta belum memiliki tonggak pilihan tertentu juga (Massa mengambang).

Sehingga membuat mereka mudah dipengaruhi oleh tindakan-tindakan populis yang mereka lihat dari sisi luarnya saja tanpa pernah melihat dari sisi kedalamannya. Dalam keadaan itulah, dengan pencitraan politik dianggap oleh para politisi pengagum politik pencitraan dapat dengan mudah mempengaruhi basis pemilih tersebut, terutama basis-basis pemilih yang masing mengambang.

Dan Ketiga, maraknya fenomena politik pencitraan ini juga tak terlepas dari mandulnya kaderisasi di tingkat Partai Politik. Yaitu didalam menciptakan sosok-sosok pemimpin dengan kreadibilitas, integritas dan kapabilitas yang mumpuni.
Dengan tidak dimilikinya figur atau sosok pemimpin yang kharismatik, cerdas dan berkarakter, maka parpol-parpol lebih mengandalkan serta mengejar citra politik semata untuk memenangkan setiap kontestasi politik. Itu terjadi karena adanya krisis kepemimpinan di tubuh partai politik tersebut serta orientasi pemikiran mereka yang hanya lebih mengejar hasil dari pada proses untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Bom Waktu Politik Citra
  
Politik Pencitraan ini dapat diibaratkan sebagai bom waktu yang kapan saja akan siap untuk meledak. Hal yang berbahaya dari Politik Pencitraan ini, tidak lain adalah dikesampingkannya hal-hal utama yang cukup subtansial di dalam setiap perjuangan memenangkan kontestasi politik (PEMILU).

Para pengagum Politik Pencitraan ini cenderung melupakan berbagai Visi, Missi, Tujuan, Strategi mencapai tujuan serta program-program nyata yang seharusnya mereka tawarkan dengan melalui kajian dan perumusan yang mendalam. Untuk bagaimana dapat menangani dan mengatasi masalah-masalah yang merundung Negara dan agar dapar menuntaskan masalah-masalah mendasar dari rakyat.

Para pengguna Politik Pencitraan ini melihat politik hanya sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan sesaat nan pragmatis. Jiwa utama dari politik yaitu “Politik sebagai alat perjuangan dan memperjuangkan” seolah telah mereka singkirkan dan buang. Ajang kontestasi Politik mereka pahami hanya sebagai alat mendapatkan kekuasaan dan menjadi pemimpin, tetapi mereka melupakan beban tanggung jawab yang seharusnya diemban oleh seorang pemimpin.

Logika sederhananya adalah bahwa didalam memenangkan ajang kontestasi politik, syarat utamanya adalah dapat merebut banyak suara dari publik. Untuk mencapai itu, karena tidak adanya bekal kreadibilitas, kapabilitas dan integritas yang dimiliki, maka yang ditawarkan oleh para pengagum Politik Pencitraan adalah dengan memperdagangkan dirinya. Mereka bersolek ria untuk mempercantik diri dengan memperindah kemasan-kemasan luar dari dagangannya, tetapi melupakan isi utama di dalam kemasan-kemasan tersebut.

Dengan demikian, membuat Politik Pencitraan ini sangat berbahaya, seperti halnya ilusi propaganda era orde baru tentang Bahaya Laten dari Komunisme. Para pemimpin yang menang lewat politik pencitraan pasti akan kesulitan dalam memberikan perbaikan-perbaikan terhadap masalah mendasar dari rakyat, apalagi untuk bagaimana menciptakan kesejahtraan, kemakmuran dan keadilan bagi rakyat.
  
Sehingga para pemimpin yang menang lewat modal politik pencitraan ini, ketika sudah terpilih dan resmi memegang tampuk jabatan ,mereka akan bingung sendiri tentang apa yang harus dilakukannya sebagai pemimpin. Karena mereka tidak pernah memikirkan dan melakukan kajian-kajian dengan detail berbagai problem yang merundung Negara ini dan mencari cara-cara untuk mengatasinya.

Maka akibatnya, mereka hanya menjadi pemimpin-pemimpin pesolek ria yang tidak memiliki tujuan jelas di pikirannya. Serta menjadi pemimpin yang gemar menghambur-hamburkan Anggaran publik untuk mengatasi masalah yang bukan masalah, dan juga menjadi pemimpin yang mencari pembenaran-pembenaran di media dibalik bau busuk hasil kepemimpinannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar