Hal
ini sama pentingnya untuk menolak partai politik, bukan menolak
sentimen ideologisnya karena sentimen tersebut ‘tidak benar’, tanpa
dasar, dan kemudian merencanakan sebuah bentuk parpol baru. Tetapi,
underbow harus berani menemukan aspek-aspek penyelewengan yang dilakukan
parpol, dan kemudian merevolusionerkan aspek-aspek tersebut kembali ke
jalan lurusnya. Peran inilah yang seharusnya tampak pada underbow, bukan
hanya mengekor dan mengamini setiap kebijakan parpol.
Kenyataannya
kini memang benar, jika OKP sebagai underbow parpor ada sudah layak dan
pantas mengekor, dan kepanjangan tangan kebijakan parpol. Ini tidak
bertentangan dengan asas demokrasi yang kita anut sekarang. Dimana
setiap parpol berhak mempunyai lembaga-lembaga independen/OKP sebagai
basis gerakan, pengkaderan dan underbow parpol.
Pertanyaan
paling mendasar tentang OKP adalah bahwa mengapa mereka hanya
semata-mata kepanjangan tangan dari partai politik? Apa tidak ada peran
lain selain mengamini partai politik induk? Bagaimana sepak terjang OKP?
Apakah ia hanya sebagai underbow atau sebagai penyeimbang dan pengawas?
Hal yang paling urgen dalam tubuh underbow adalah, apakah yang bisa
dilakukan OKP partai politik saat ini dan masa mendatang?
dari Lokal menuju Demokrasi Sosial
Berkaca
pada demokrasi Barat, penyusunan undang-undang, aturan, dan Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) parpol, ditentukan oleh mereka yang
cenderung untuk melakukan kesalahan dan penyimpangan dikarenakan
dorongan hawa nafsu mereka. Dan mungkin saja mereka membuat aturan yang
bertentangan dan tidak sesuai dengan kemaslahatan mereka. Seperti yang
kita saksikan hari ini banyak sekali aturan-aturan seperti itu yang
telah diterapkan dalam berbagai masyarakat dan tidak
berapa lama kemudian, dengan melihatkan kepada kesan atau dampaknya yang
merugikan, undang-undang itu dibatalkan atau untuk mengelabuhi publik
aturan itu direvisi.
So what after demokrasi?
Dengan cukup simpatik Anthony Giddens dalam bukunya, berupaya membuka
jalan lain menuju “surga” kesejahteraan sosial yang disebutnya ‘the third way’,
jalan ketiga menuju pembaruan demokrasi sosial. Menurut Giddens,
program jalan ketiga itu di antaranya: pusat yang radikal, negara
demokratis baru, masyarakat madani yang aktif, keluarga demokratis,
ekonomi campuran baru, kesamaan sebagai inklusi, kesejahteraan positif, social investment state, bangsa kosmopolitan dan demokrasi kosmopolitan.
Apa
yang ada di benak Giddens adalah sebuah utopia ‘jalan ketiga’ menuju
demokrasi sosial yang sejak lama telah ada dan tidak jauh berbeda dengan
cita-cita underbow utopis; bahwa underbow demokratis adalah sebuah asas
bagi pembentukan suatu tatanan politik dan sosial yang di dalamnya
semua orang akan memiliki kebebasan yang sama di semua bidang kehidupan
melalui solidaritas dan organisasi masyarakat.
Dialektika
politis terus mengalami perubahan tiada henti dan tidak akan pernah
mandeg sekalipun dalam taraf sistem yang paling sempurna. Di banyak
sisi, OKP memberikan berbagai catatan miring yang dapat di sodorkan
untuk disandingkan dalam pemikiran politik kontemporer di tubuh parpol.
Di berbagai sisi akademis, tidak pernah tuntas untuk mediskusikan
teori-teori yang lazim digunakan OKP. Bisa jadi ujung-ujungnya ialah
mendefinisi ulang. Sebagai contoh penelitian yang dilakukan oleh Forum
Studi Transformasi Sosial (FSTS) sebagai wahana yang merusaha
menjembatani senjangnya antara wacana dan realitas politik, maka salah
jika penyelesaian kasus ini dengan cara melakukan penelitian. Dari
berbagai pendekatan dan prosedur yang dilakukan dan ditemukan di
lapangan, khususnya di wailayah Jawa Timur, ada beberapa temuan yang
dapat diusung kembali menjadi sinergi dengan teori-teori perilaku dan
interkasi simbolik.
Jika
ini yang terjadi dalam demokrasi kita, metode seperti pemilihan umum
dan jajak pendapat, bersandarkan kepada suara mayoritas merupakan jalan
yang paling praktis dan terbaik yang diterima. Tapi ada kalanya suara
mayoritas rakyat atau wakil mereka memberi suara yang mendatangkan
kerugian dan malah keburukan, seperti mana yang terdapat di Barat ketika
mereka mengesahkan undang-undang amoral homosexual di sebagian negara
barat karena mendapat suara mayoritas anggota parlemen.
Despotik
dan kebebasan individu dalam tubuh OKP ini akan menemui jalan buntu.
jika menekankan peran mulia dan bertanggungjawab individu dalam membina
dirinya dan masyarakat. Mengingat, OKP selama ini selalu menjadi
underbow parpol bukan sebagai penyeimbang organisasi. Dengan meninjau
demokrasi dalam tubuh OKP, dapat tarik sautu konklusi bahwa
keberadaannya tidak menyediakan diri sebagai kepentingan rakyat dan
masyarakat dari berbagai dimensi. Kepaduan ini dikarenakan sistem
demokrasi tidak ditegakkan atas dasar nilai-nilai komprehensif. Sebuah
sistem yang seharusnya menyediakan dunia manusia secara adil dan
seimbang jauh dari kefasadan, penyimpangan dan kehancuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar