18 Okt 2013

TEORI RASIONALISASI Habermas vs Max Weber

Habermas Atas Teori Rasionalisasi Kebudayaan Max Weber
Apakah yang dimaksud dengan proses rasionalisasi? Jawaban atas pertanyaan itu dirumuskan secara brilian oleh Max Weber. Akan tetapi, sebelum masuk ke jawaban atas pertanyaan itu, kita harus terlebih dahulu mengerti konsep rasionalitas yang kerap digunakan Weber dalam berbagai konteks, seperti dalam bentuk-bentuk tindakan tertentu dan pandangan dunianya. Rasionalitas memberi sentuhan khusus dalam bidang-bidang kebudayaan itu. Dalam konteks ini, rasionalitas yang terpenting adalah rasionalitas tindakan. Dalam konteks tindakan, rasionalitas adalah perhitungan yang masuk akal untuk mencapai sasaran-sasaran berdasarkan pilihan-pilihan yang masuk akal, dengan sarana-sarana yang efisien, dan mengacu kepada perumusan nilai-nilai tertinggi, yang mengarahkan tindakan dan orientasi-orientasi yang terencana demi pencapaian nilai-nilai tersebut. Weber menyebut rasionalitas ini sebagai rasionalitas tujuan, atau Zweckrationalität. Ciri-ciri rasionalitas ini adalah formal, karena mereka-mereka yang bekerja berdasarkan jenis rasionalitas ini hanya memfokuskan diri pada cara-cara pencapaian tujuan, dan mengacuhkan nilai-nilai yang diacu sebagai tujuan tindakan. Disamping itu, ada jenis rasionalitas lain yang disebut Weber sebagai rasionalitas nilai. Ini adalah kesadaran akan nilai-nilai estetis, etis, dan religius. Ciri dari rasionalitas ini adalah substantif, karena mereka yang bekerja dengan rasionalitas ini sangat menekankan komitmen rasionalnya terhadap nilai yang dihayati secara pribadi. Weber membedakan rasionalitas nilai ini dengan tindakan tradisional, yang lebih didorong oleh afeksi dan emosi. Dalam konteks ini, David Ingram, salah satu komentator Habermas, menulis,
“ tindakan rasional-nilai itu merupakan deduksi norma-norma praktis dari prinsip-prinsip universal, misalnya kesamaan dan keadilan yang direalisasikan oleh hukum kodrat”.
Menurut Weber, konsep rasionalitas tersebut tidaklah khas hanya dimiliki oleh kebudayaan Barat, melainkan merupakan ciri yang sudah melekat inheren di dalam modernitas itu sendiri. Artinya, konsep rasionalitas tindakan tersebut belumlah berkembang dalam kebudayaan tradisional. Akan tetapi, perubahan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern telah megnkondisikan konsep rasionalitas tersebut untuk menjadi pengarah bagi tingkah laku sosial di dalam kebudayaan. Hal tersebut tidak hanya berlaku bagi kebudayaan Barat semata, melainkan dalam seluruh kebudayaan yang melangsungkan proses modernisasi. Nah, apa yang dimaksud Weber dengan rasionalisasi adalah proses perubahan kebudayaan yang dihasilkan sebagai akibat dari meluasnya rasionalitas tersebut. Dalam bukunya yang berjudul Toward a Rational Society, Habermas menulis,
“rasionalisasi adalah meluasnya wilayah-wilayah masyarakat yang ditempatkan di bawah aturan-aturan keputusan rasional”.
Artinya, pola-pola tindakan sosial ekonomi dalam kebudayaan modern, lewat proses rasionalisasi ini, dilakukan lewat keputusan dan tindakan rasional, seperti yang dapat dilihat dalam birokrasi dan adiministrasi. Itulah pengertian umum dari proses rasionalisasi kebudayaan.
Analisa Weber tersebut kemudian digunakan oleh Teori Kritis Frankfurt untuk mengkritik jenis rasionalitas yang telah menindas kebudayaan dewasa ini. Rasionalitas ini mereka sebut dengan rasionalitas teknologis ( Marcuse), rasionalitas instrumental (Horkheimer), dan mitos (Adorno). Menurut mereka, proses rasionalisasi kebudayaan yang didasarkan pada jenis rasionalitas ini tidak akan memberikan kebahagiaan dan otonomi pada manusia. Sebaliknya, atas nama rasionalitas, kekuatan politis telah dan akan terus menindas kebudayaan dewasa ini justru melalui proses rasionalisasi tersebut.
Marcuse, misalnya, berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi, yang semula dianggap mampu membebaskan manusia, pada hakekatnya merupakan sebuah ideologi, karena didalamnya terkandung apa yang disebutnya sebagai rasionalitas teknologis. Dalam proyek Teori Kritis Frankfurt secara keseluruhan, rasionalitas dipahami dalam dua peran yang bertentangan. Pertama, rasionalitas tersebut merupakan sebentuk kritik atas proses-proses produksi dalam mentalitas dan kultur tradisional yang telah menindas. Kedua, rasionalitas tersebut kini tampak sebagai sebuah topeng untuk membenarkan proses-proses produksi yang baru, dan dengan cara yang sama juga menindas. Dengan demikian, proses rasionalisasi ini bisa dipahami searah dengan pemikiran Freud, yakni sebagai topeng untuk menyembunyikan kekuasaan politis yang dominatif dan menindas. Teori Kritis Frankfurt generasi pertama pun jatuh pada dilema semacam ini. Marcuse mengajukan solusi, yang pada kaca mata Habermas tidaklan relevan, untuk memandang alam sebagai saudara atau subyek lain yang setara. Hal ini semakin membuktikan bahwa Teori Kritis Frankfurt generasi pertama telah menjadi semakin moralistis dan tidak memiliki dasar epistemologis yang memadai.
Dalam bukunya yang berjudul Toward a Rational Society, Habermas menanggapi kemacetan Teori Kritis tersebut dengan mempelajari kembali teori rasionalisasi Weber secara kritis. Menurut dia, Teori Kritis Frankfurt generasi pertama dan termasuk Weber sendiri tidak bisa memberi penjelasan yang memadai tentang bagaimana rasionalitas dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, lewat proses rasionalisasi, telah berkembang menjadi semacam dunia, atau apa yang disebut Habermas sebagai “bentuk kehidupan” (Lebensform). Melihat itu, Habermas tidak langsung melontarkan kritiknya, melainkan menyarankan sebuah skema interpretatif yang lebih memadai dalam melihat serta memahami proses rasionalisasi dalam perkembangan sejarah. Skema itulah yang nantinya merupakan rekonstruksi baru Habermas atas teori rasionalisasi kebudayaan Max Weber, terutama dalam intensi utamanya untuk memperbaharui program analisa Teori Kritis. Searah dengan Weber, Habermas memfokuskan analisanya pada tindakan sosial, yang merupakan suatu obyek yang memiliki ciri-ciri mendasar sekaligus dapat dianalisa secara empiris. Ia bertolak dari pembedaan konsep praksis. Praksis adalah tindakan dasar manusia terhadap dunia di luar dirinya. Dalam konteks ini, Habermas membedakan dua dimensi dalam praksis kehidupan manusia. Yang satu tidak bisa dilepaskan dari yang lain. Dua dimensi itu adalah kerja dan interaksi atau komunikasi. Dalam bukunya yang berjudul Toward a Rational Society, dua dimensi itu dijelaskan sebagai tindakan sosial, yang merupakan konsep sentral dalam teori rasionalisasi kebudayaan Weber. Habermas lalu membedakan dua macam jenis tindakan, yakni tindakan rasional bertujuan yang tercangkup di dalam dimensi kerja, dan tindakan komunikatif yang tercangkup di dalam dimensi komunikasi.
Konsep tindakan rasional bertujuan atau zweckrationaleshandeln itu mengacu pada konsep rasionalitas tujuan seperti yang sudah dirumuskan oleh Weber. Tindakan macam ini bersifat instrumental. Artinya, tindakan ini mematuhi aturan-aturan teknis, mendasarkan diri pada pengetahuan empiris untuk menentukan hasil-hasilnya, dan memilih sarana-sarana yang tepat untuk merealisasikan tujuan-tujuan. Dalam arti lain, tindakan ini juga bersifat strategis, dalam arti “tergantung pada penilaian yang tepat mengenai pilihan-pilihan alternatif yang mungkin berdasarkan perhitungan nilai-nilai dan kaidah-kaidah”. Pada analisa selanjutnya, Habermas berpendapat bahwa tindakan instrumental hanya dapat diterapkan terhadap realitas non-sosial seperti alam, sedangkan tindakan strategis berkembang di dalam relasi-relasi sosial. Sedangkan konsep tindakan komunikatif, yang merupakan konsep khas Habermas, adalah titik tolak kritik-kritik rekonstruktifnya terhadap teori rasionalisasi kebudayaan Max Weber. Dengan konsep tindakan komunikatif, Habermas mau menunjukkan bahwa ada tindakan dasar manusia yang diarahkan oleh norma-norma yang disepakati bersama berdasarkan harapan timbal balik antara subyek yang saling berinteraksi. Bahasa, sebagai simbol pemahaman timbal balik dalam komunikasi manusia, memegang peranan sangat penting dalam tindakan komunikatif ini.
Didalam bukunya yang berjudul Toward a Rational Society tersebut, Habermas berpendapat bahwa kedua jenis tindakan ini adalah tindakan sosial, dalam arti tindakan-tindakan yang dilakukan manusia dalam dimensi kehidupan bermasyarakat. Dari pembedaan atas dua konsep tindakan tersebut, Habermas maju terus dengan merumuskan sebuah distingsi secara analitis atas dua sisi di dalam sistem sosial. Pertama adalah apa yang disebutnya sebagai “kerangka kerja institusional yang tersusun dari tindakan komunikatif atau dunia kehidupan sosial dan budaya”. Kedua adalah “subsistem tindakan rasional bertujuan yang tersusun dari tindakan-tindakan rasional bertujuan yang tertanam di dalam dunia kehidupan sosial budaya seperti dalam bentuk sistem ekonomi dan administrasi negara”. Dalam buku itu, Habermas terus menunjukkan bahwa apa yang disebut Weber sebagai proses rasionalisasi kebudayaan tersebut ternyata berjalan tidak seimbang, karena proses tersebut hanya menekankan salah satu sisi dari sistem sosial, yakni tindakan rasional bertujuan.
Dalam menunjang konseptualisasi semacam itu, Habermas menyusun sebuah sejarah proses modernisasi dari kebudayaan tradisional ke kebudayaan modern dewasa ini ke dalam tiga tahap, yakni kebudayaan tradisional, kebudayaan kapitalis liberal, dan kebudayaan kapitalisme lanjut, atau Spätkapitalismus. Menurut Habermas, proses perkembangan itu terjadi melalui perubahan konstelasi kerangka kerja institusional dalam konteks tindakan rasional bertujuan. Masyarakat yang hidup dengan budaya tradisional memiliki kerangka kerja institusional yang dominan dengan dukungan legitimasi tradisional dalam bentuk mitos, agama, dan metafisika yang mencangkup seluruh realitas. Dalam tahap kebudayaan tradisional ini, subsistem tindakan rasional bertujuan belumlah dominan, melainkan berada di dalam batas-batas kepentingan tradisi. Maka dari itu, tindakan rasional instrumental dan strategis belum menjadi pengarah tindakan sosial. Perubahan mulai terjadi ketika kebudayaan memasuki tahap modernitas, yang diawali dengan lahirnya masyarakat kapitalis liberal. Pada tahap ini, menurut Habermas, subsistem-subsistem tindakan rasional bertujuan meluas memasuki wilayah kerangka kerja institusional, dan bahkan menelannya. Proses rasionalisasi yang dirumuskan oleh Weber tak lain adalah proses penyesuaian kerangka kerja institusional menurut aturan subsistem tindakan rasional bertujuan tersebut. Dalam konteks ini, Habermas merumuskan dua macam rasionalisasi. Pertama adalah rasionalisasi dari atas, yakni terjadinya krisis legitimasi tradisional atau sekularisasi. Proses ini terjadi karena mitos, agama, dan metafisika kehilangan daya ikatnya pada tindakan sosial. Sebagai gantinya, lahirlah ideologi borjuis yang mengumandangkan kebebasan dan otonomi manusia. Di titik ini, ekonomi menjadi dimensi yang dominan di dalam kehidupan. Marx pun merumuskannya dalam bentuk basis ekonomi yang menentukan gerak struktur politik. Kedua adalah dari bawah, yakni interaksi sosial yang semakin diatur oleh norma-norma tindakan rasional bertujuan.
Kerangka kerja instisional semacam itu berakhir ketika masyarakat berada di dalam tahap kapitalisme lanjut. Dalam kebudayaan masyarakat kapitalisme lanjut, negara berperan, bukan untuk mewujudkan tujuan-tujuan praktisnya, melainkan untuk memecahkan masalah-masalah teknis. Oleh karena itu, dalam tahap ini, negara membutuhkan ilmu dan teknologi sebagai pemecah masalah. Habermas menulis,
“proses rasionalisasi dari atas mencapai kesadaran teknokratis dan pada tahap inilah ilmu dan teknologi berfungsi sebagai ideologi dan hanya dalam rasionalisasi dari ataslah penjelasan Adorno dan Horkheimer tentang dialektika pencerahan dan Marcuse tentang rasionalitas teknologis dapat dimengerti karena rasionalisasi dari atas ini tak lain dari pergantian ideologi demi ideologi”.
Sementara itu, rasionalisasi dari bawah semakin menekan dan memperkuat berlakunya tindakan rasional bertujuan dalam bentuk tindakan birokratis dan administrasi di dalam masyarakat.
Dalam buku Toward a Rational Society tersebut, yang terpenting adalah evaluasi kritis dan rekonstruktif Habermas atas proses rasionalisasi yang telah dirumuskan oleh Weber. Dalam perspektif tindakan komunikatifnya, Habermas berpendapat bahwa ketimpangan proses rasionalisasi itu terjadi karena penekanan yang terlalu besar kepada tindakan rasional bertujuan, sehingga mengesampingkan proses rasionalisasi dalam dimensi komunikasi. Dengan kata lain, dimensi teknis rasionalitas tujuan menindas dimensi praktis rasionalitas komunikatif.
Melihat problem dominasi tersebut, Habermas berpendapat bahwa proses rasionalisasi yang berjalan seimbang akan terjadi dalam dua dimensi, dimana yang satu tidak boleh digantikan oleh yang lain. Pada dimensi subsistem tindakan rasional bertujuan, rasionalisasi terjadi dalam rupa perkembangan kekuatan-kekuatan produksi, kemajuan dan perluasan kontrol teknis atas alam dan proses-proses obyektif. Sedangkan pada taraf kerangka kerja institusional atau dunia kehidupan sosial budaya, rasionalisasi terwujud dalam medium komunikasi melalui bahasa dengan cara menyingkirkan segala bentuk distorsi dalam proses komunikasi.
Dengan rekonstruksinya atas teori rasionalisasi Max Weber, Habermas sebenarnya ingin menegaskan bahwa Teori Kritis Frankfurt generasi pertama, dan bahkan Max Weber sendiri, telah memahami rasionalitas secara sempit, yakni sebagai rasionalitas tujuan. Model rasionalitas semacam itu hanya dapat diberlakukan terhadap alam dan proses-proses yang bersifat obyektif, tidak untuk realitas sosial yang bersifat intersubyektif. Yang cukup baru dalam pendekatan Habermas adalah pemikirannya tentang proses rasionalisasi di dalam bidang komunikasi. Rasionalisasi semacam ini mengacu pada model rasionalitas lain, yang terwujud dalam tindakan komunikatif. Rasionalitas yang dimaksud disini adalah rasionalitas komunikatif. Buku Habermas yang berjudul The Theory of Communicative Action I: Reason and The Rationalization of Society adalah suatu proyek raksasa untuk mengembangkan model rasionalitas komunikatif itu.

3. Rekonstruksi Rasional atas Teori Rasionalisasi Max Weber
Buku Habermas The Theory of Communicative Action I: Reason and The Rationalization of Society dapat dipandang sebagai kelanjutan proyek rekonstruksinya atas teori rasionalisasi Max Weber. Tujuan Habermas tetap sama, yakni mengembangkan teori kritis sebagai teori rasionalisasi yang berbasiskan paradigma komunikasi. Dalam buku ini, Habermas melampaui analisanya yang telah dibuat di dalam buku Toward a Rational Society, dan memberikan uraiannya yang lebih sistematis untuk mengembangkan rumusannya tentang rasionalitas pada taraf tindakan komunikatif. Jika pada buku Toward a Rational Society Habermas mengurai analisa Teori Kritis Frankfurt dalam kaitannya dengan teori rasionalisasi Max Weber, dalam buku The Theory of Communicative Action I: Reason and The Rationalization of Society ini, Habermas langsung masuk ke dalam teori Weber itu sendiri.
Dalam buku itu, Habermas kembali menekankan bahwa Weber, Marx, Horkheimer dan Adorno telah menyamakan rasionalisasi kemasyarakatan dengan perluasan rasionalitas instrumental dan strategis. Ide tentang perluasan rasionalitas instrumental tersebut terlalu sedehana jika ingin diterapkan untuk menganalisa proses rasionalisasi kemasyarakat yang sesungguhnya. Dalam kaca mata Habermas, rasionalisasi yang terjadi di dalam dunia kehidupan sosial budaya tidak dapat begitu saja disamakan dengan perluasan rasionalitas instrumental. Ia menulis,
“ Among the classical figures of sociology, Max Weber is the only one who broke with both the premises of the philosophy of history and the basic assumptions of evolutionism and who nonetheless wanted to conceive of the modernization of old European society as the result of universal-historical process of rationalization. He opened up rationalization process to an encompassing empirical investigation without interpreting them in an empiricist manner so that precisely the aspects of rationality of social learning would be dissapear”.
Artinya, Weber merumuskan proses rasionalisasi sebagai perluasan rasionalitas strategis, karena ia sendiri sangat terpengaruh oleh tradisi filsafat sejarah abad ke-18 yang spekulatif, dan tradisi evolusionisme abad ke-19 yang mendasarkan diri melulu terhadap penelitian empiris. Walaupun terpengaruh, Weber tetap bersikap kritis sekaligus meminati persoalan filosofis sosiologis yang dibahas di dalam dua tradisi pemikiran tersebut.
Dalam konteks lain, Habermas mengacu pada pemikiran Condorcet, dalam tulisannya yang berjudul Sketch for a Historical Picture of the Progress of Human Mind, sebagai tema penting dalam filsafat sejarah. Filsuf ini menggunakan model rasionalitas seturut dengan model pengetahuan ilmu-ilmu alam dan matematika, yakni dengan observasi, eksperimen, dan kalkulasi. Di luar model ilmu pengetahuan ini, semuanya adalah irasional dan mitos belaka. Condorcet lalu melihat sejarah manusia sebagai sejarah dari proses rasionalisasi. Proses itu mengarah kepada kesempurnaan dalam rupa kemajuan ilmiah, dalam bentuk institusionalisasi ilmu pengetahuan lepas dari teologi dan humaniora, juga pada kesempurnaan moral manusia, dan dalam bentuk lahirnya negara republik yang menjamin kebebasan sipil. Dalam kaca mata Habermas, Condorcet sangat dipengaruhi oleh empat pengandaian yang sangat dipengaruhi semanga jamannya. Pertama, sejarah sebagai kemajuan linear. Kedua, rasionalitas yang bersifat universal. Ketiga, adanya kaitan segi kognitif kemajuan ilmu pengetahuan dengan segi moral perkembangan kebudayaan, yang terwujud dalam pembebasan manusia dari dogmatisme. Empat, pentingnya pengalaman sebagai sumber dari pengetahuan manusia.
Pandangan semacam itu kemudian diterapkan dalam menganalisa manusia sebagai bagian dari evolusi alamiah spesies secara universal. Habermas menulis,
“ the paradigm for the interpretation of cumulative changes was no longer the theoretical progress of science but the natural evolution of the species”.
Menurut Habermas, dalam paham evolusionisme, proses rasionalisasi kebudayaan manusia diangkat lebih tinggi statusnya menjadi proses evolusi spesies manusia dalam kehidupan sosial yang tak terelakkan. Evolusionisme, pada titik ini, justru mengulangi lagi kesalahan filsafat sejarah, yang cenderung menarik kesimpulan normatif moral dari kemajuan-kemajuan evolusioner. Ia berpendapat bahwa Max Weber adalah seorang pemikir klasik yang berhasil melepaskan diri dari asumsi filsafat sejarah dan evolusionisme ini. Weber dapat mengembangkan pendekatan empiris terhadap teori rasionalisasi, namun tidak disempitkan melulu kepada fakta empiris faktual, melainkan mengaitkan penelitian tersebut dengan konsep rasionalitas yang bersifat transendental.

3.1 Rasionalisasi Kebudayaan: Lahirnya Struktur Kesadaran Modern
Dalam The Theory of Communicative Action, Habermas menelusuri teori Weber dengan mengacu pada persoalan pokok yang diajukan Weber sendiri, yakni “mengapa di luar Eropa, tidak ada perkembangan ilmiah, artistis, politis atau ekonomis yang memasuki jalur rasionalisasi yang khas bagi kebudayaan Barat?” Untuk mencapai pertanyaan seperti itu, Weber terlebih dahulu meneliti fenomena-fenomena yang menunjukkan kekhasan rasionalisme Barat, yakni lahirnya ilmu-ilmu alam, media cetak, pelembagaan seni, musik, hukum, administrasi, birokrasi rasional, perusahaan kapitalis, dan sebagainya. Habermas menganalisis penelitian Weber itu, awalnya untuk memperlihatkan ciri rasionalisme di Barat, dan kemudian menjawab pertanyaan Weber diatas.
Habermas, dengan terinspirasi dari teori sistem Parsons, berpendapat bahwa rasionalisasi kebudayaan Barat menyebar dan memasuki tiga segi kehidupan sosial, yakni masyarakat, kebudayaan, dan kepribadian. Ia menulis, “in the following classification I shall make use the customary division into (a) society (b) culture (c) personality”. Di sisi lain, Habermas melihat bahwa Weber menganalisa proses rasionalisasi masyarakat sebagai diferensiasi ekonomi kapitalis dan negara modern. Dari segi masyarakat, hal tersebut terlihat jelas pada pembentukan perusahaan kapitalis yang bersifat publik, serta pembentukan institusi publik rasional dalam bentuk negara. Dalam segi kebudayaan, proses rasionalisasi tersebut terlihat jelas dalam lahirnya sains modern, teknologi, seni yang otonom, dan etika yang didasarkan pada prinsip-prinsip universal. Struktur kesadaran dalam bidang ilmu pengetahuan, etika, dan seni memiliki logika internalnya sendiri. Habermas menyebutnya berturut-turut unsur kognitif, moral-evaluatif, dan estetis-ekspresif dari kebudayaan. Weber memahami ketiga unsur tersebut merupakan hasil rasionalisasi dari tradisi kebudayaan Yahudi-Kristiani-Barat. Pada segi kepribadian, rasionalisasi, menurut Habermas, tampak dalam cara hidup atau apa yang disebut Weber sebagai etika Protestan, yakni dipindahkannya kebahagiaan dunia sana (kematian) ke kebahagiaan dunia sini, atau pengalihan semangat mati raga rohani ke dalam semangat kerja wiraswasta.
Pertanyaan kemudian adalah, rasionalitas macam apa yang mampu merangsang perubahan sosial, kultural, dan personal di atas? Habermas tetap dengan disposisi pemikirannya, yakni rasionalitas tujuan yang tampil dalam bentuk tindakan rasional bertujuanlah yang mendasari prosees rasionalisasi di Barat. Dalam The Theory of Communicative Action, Habermas secara lebih detil menunjukkan hasil analisis Weber dengan mengacu pada konsep rasionalitas tujuan tersebut. Salah satu contoh adalah penjelasan Weber adalah tentang konsep teknik. Bagi Weber, teknik adalah pemanfaatan sarana-sarana secara teratur, dapat dikalkulasi dari pihak pengamat, memiliki aturan-aturan kausalitas, dapat diulangi, dan dapat diprediksi. Habermas menulis,
“Weber sees cultural rationalization in moderns sciences and technology, in autonomous art, and in religiously anchored ethic guided by principles. He designates as rationalization every expansion of empirical knowledge, of predictive capacity, of instrumental and organizational mastery of empirical process”.
Menurut Habermas, konsep teknik semacam ini, oleh Weber, dapat dimengerti sebagai sarana yang dipakai subyek tindakan untuk merealisasikan tujuan lewat intervensi ke dalam dunia obyektif, dengan sukses sebagai ukurannya. Dengan demikian, Weber memahami rasionalitas sebagai penggunaan sarana-sarana, seperti dalam definisi konsep teknik tersebut.
Di beberapa tahap kemudian, Weber lalu membedakan rasionalitas di dalam dua segi. Pertama adalah rasionalitas instrumental yang bersifat formal. Ciri khasnya adalah efektifnya suatu sarana dan tepatnya suatu tujuan. Kedua adalah rasionalitas pilihan, yang bersifat substantif dan strategis. Habermas menambahkan,
“ Weber calls these two aspects of instrumental rationality and the rationality of choice, taken together, formal rationality, in contradiction to substantive evaluation of the value systems underlying the preferences”.
Kedua segi ini tercangkup di dalam konsep tindakan rasional bertujuan yang diarahkan oleh rasionalitas tujuan. Rasionalitas inilah yang menjadi sebab bagi ‘hilangnya pesona dunia’. Dengan rasionalitas ini, proses rasionalisasi kebudayaan telah menghasilkan diferensiasi unsur-unsur kognitif, evaluatif, dan ekspresif dari kebudayaan. Semuanya itu terwujud dalam bentuk lahirnya ilmu-ilmu modern, etika, dan seni yang otonom.
Setelah Habermas menganalisis berbagai jenis rasionalitas yang dirumuskan Weber, ia kemudian sampai pada pertanyaan, apakah rasionalitas yang disampaikan oleh Weber itu universal, atau khas kebudayaan Barat? Bagi Habermas, jawaban Weber mengambang. Di satu sisi, ia menganggap rasionalitas itu berciri universal, sehingga berlaku untuk semua kebudayaan. Di sisi lain, ia melihat rasionalitas itu sebagai ciri khas kebudayaan Barat. Walaupun begitu, tampaknya Weber lebih menekankan ciri universal rasionalitas itu. Artinya, rasionalitas itu melekat pada modernitas itu sendiri. Habermas sendiri akhirnya mengikuti posisi universalistik Weber ini, yakni rasionalitas adalah ciri universal umat manusia dalam proses modernisasinya. Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah, mengapa proses rasionalisasi pertama kali muncul di kebudayaan Barat, dan bukan kebudayaan lain?
Jawaban atas pertanyaan tersebut terletak di dalam analisa sosiologi agama Weber. Dalam analisanya tentang perbandingan perkembangan agama-agama di seluruh dunia, Weber meneliti tiga agama besar dalam kaitannnya dengan proses rasionalisasi kebudayaan. Agama-agama itu adalah Konfusianisme/Taoisme, Hinduisme/Budhisme, dan Yudaisme/ Kristen. Ia berpendapat bahwa semua agama dunia bertitiktolak dari problem dasar yang sama, yakni sebuah upaya untuk “menciptakan kepentingan rasional akan kesetaraan material dan ideal”. Dalam agama-agama di dunia, yang menjadi fokus utama adalah problem ketidakadilan. Akan tetapi, persoalan ketidakadilan itu tidak diteliti sebagai masalah etis murni, melainkan merupakan bagian dari masalah teologis, kosmologis, metafisis tentang terjadinya dunia sebagai keseluruhan. Dengan demikian, Weber kemudian meneliti tradisi agama-agama besar ini dalam kaitannya dengan masalah teodisea.
Dari titik tolak teodisea itu, Weber kemudian mencoba mengklasifikasikan jawaban agama-agama tersebut. Agama Yahudi/ Kristen memberikan jawaban yang bersifat teosentris. Agama ini memiliki konsep tentang Allah yang transenden, personal, Allah yang pencipta dan bertindak. Oleh karena itu, umat berelasi dengan Allah sebagai sang penyelamat. Hubungan itu ditafsirkan kemudian secara historis sebagai sejarah keselamatan. Di sisi lain, agama Konfusianisme/Taoisme dan Hinduisme/Buddhisme lebih memberikan argumentasi kosmosentris. Di sini, Allah adalah sesuatu yang impersonal, imanen, dengan kata lain, Allah Tatanan (order). Umat mengimani dirinya sebagai perwujudan yang Ilahi sekaligus berpartisipasi di dalam yang Ilahi itu. Selain pembedaan antara teosentris dan kosmosentris itu, Weber juga membuat distingsi lain yang cukup penting, yakni pengakuan akan dunia dan pengingkaran akan dunia. Menurut Weber, Konfusianisme/Taoisme mengakui dunia ini dan tidak mengakui dunia akherat. Sementara itu, Yahudi/Kristen dan Hinduisme/Buddhisme mengingkari dunia ini, karena mereka memiliki pandangan dualisme dunia-akherat.
Weber kemudian memberi penjelasan tentang potensi masing-masing agama dunia itu untuk mengalami proses rasionalisasi, yakni penghancuran pemikiran magis dan sistematisasi pandangan dunianya. Semakin dunia dipandang sebagai penampakan-penampakan yang fana, sebagai medan kegiatan praktis, dan sebagai wilayah obyek-obyek dan kesempatan untuk tingkah laku etis, maka potensi pandangan dunia tersebut menjadi rasional akan semakin mungkin. Nah, menurut Weber, agama Yahudi/Kristen memiliki sikap dasar tersebut, sehingga sangat berpotensi tinggi untuk proses rasionalisasi. Sedangkan, Hinduisme/Buddhisme lebih bersifat kontemplatif, tidak mau menaklukan dunia, melainkan memasuki kontemplasinya ke dunia mistik. Oleh karena itu, mereka memiliki potensi rasionalisasi yang rendah. Sementara itu, rasionalisasi yang terjadi pada Konfusianisme/Buddhisme lebih bersifat kognitif. Sampai pada abad ke-15, Cina lebih sukses mengembangkan pengetahuan teoritis dan praktis daripada orang-orang Barat. Keadaannya mirip dengan filsafat Yunani. Keduanya sama-sama mengakui dunia. Hanya ada satu perbedaan penting, filsafat Cina menyesuiakan diri dengan dunia, sedangkan filsafat Yunani membuat abstraksi atau kontemplasi atas dunia tersebut. Oleh karena itu, secara kognitif, filsafat Yunani, yang kemudian turut mendorong masyarakat ke pintu gerbang modernisasi melalui renaisans, memiliki potensi rasionalisasi yang lebih tinggi. Di titik ini, Weber sampai pada kesimpulan bahwa pada umumnya kebudayaan Barat memiliki struktur internal yang potensial untuk terjadinya proses rasionalisasi.
Rasionalisasi yang lahir dari tradisi Yahudi/Kristen dan Filsafat Yunani di kebudayaan Barat ini berciri universal. Artinya, proses rasionalisasi ini melekat di dalam pemahaman kebudayaan modern. Di titik ini, searah dengan Weber, Habermas juga menekankan bahwa pemahaman modern dalam proses rasionalisasi dalam dimensi etis mencangkup tiga unsur. Pertama, “konsep dunia yang diabstraksi dari satu pandangan totalitas hubungan-hubungan antar pribadi yang diatur secara normatif”. Kedua, “diferensiasi sikap etis murni yang dapat digunakan orang untuk menguji norma-norma”. Ketiga, “perkembangan konsep pribadi yang universalistis sekaligus individualistis yang berkaitan dengan suara hati, tanggung jawab moral, otonomi, dan sebagainya”. Sedangkan dalam dimensi kognitif, pandangan dunia yang dirasionalkan mencangkup juga tiga unsur. Pertama, “ lahirnya konsep dunia yang bersifat formal dengan kaitan sebab akibat yang universal”. Kedua, “adanya pembedaan sikap teoritis murni yang dipisahkan dari praksis dan dengan itu orang dapat memastikan kebenaran secara definitif”. Ketiga, “adanya pengembangan konsep pengetahuan yang menuntut subyek membersihkan diri dari segala bentuk kepentingan dan penilaian”. Habermas pun, untuk menegaskan tesisnya, menulis,
“adalah kenyataan sejarah bahwa secara luar biasa rasionalisasi etis yang dibahwa agama Kristen/Yahudi berpadu dengan rasionalisasi kognitif yang dibawa filsafat Yunani dalam tradisi pemikiran Eropa”.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mengapa rasionalisasi etis-kognitif tersebut dapat menyebar ke dalam kehidupan sosial sehari-hari kebudayaan Barat? Habermas menjawab bahwa kuncinya terletak pada penterjemahan proses rasionalisasi kebudayaan tersebut menjadi proses rasionalisasi masyarakat. Dengan demikian, kuncinya terletak pada fakta bahwa pandangan dunia yang telah mengalami proses rasionalisasi tersebut potensial untuk diterjemahkan ke dalam tindakan sosial.

3.2 Proses Rasionalisasi Masyarakat
Di atas, kita sudah berupaya merumuskan hasil analisa Habermas atas Weber tentang kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya proses rasionalisasi di kebudayaan Barat. Hal yang juga perlu dijelaskan adalah analisa Habermas tentang proses rasionalisasi kebudayaan tersebut, yang kemudian diterjemahkan ke dalam proses rasionalisasi masyarakat. Menurut Habermas, buku Weber yang berjudul The Protestan Ethics and The Spirit of Capitalism memberi jembatan penghubung konseptual antara proses rasionalisasi kebudayaan di satu sisi, dan proses rasionalisasi masyarakat di sisi lain. Habermas juga berpendapat bahwa proses rasionalisasi disebabkan oleh berbagai kombinasi faktor-faktor eksternal, seperti sistem ekonomi pasar dan aparatur negara, dan struktur kesadaran yang lahir dari sintesa antara tradisi Yahudi/Kristen dan filsafat Yunani, yang pada akhirnya mendorong proses rasionalisasi kebudayaan. Dalam Toward a Rational Society, Habermas membedakan dua macam proses rasionalisasi. “Dari atas”, rasionalisasi mencangkup penanaman motivasi dan perwujudan struktur-struktur kesadaran. “Dari bawah”, rasionalisasi meliputi penyelesaian konflik-konflik kepentingan, yang muncul “masalah reproduksi ekonomis dan perebutan kekuasaan politis”. Menurut Habermas, analisis yang dirumuskan oleh Weber memfokuskan diri pada rasionalisasi dari atas. Weber meneliti sejauh mana potensi kesadaran itu dapat diterapkan di dalam taraf kehidupan bermasyarakat.
Bagaimana tepatnya proses rasionalisasi dari taraf kebudayaan dapat diterjemahkan ke dalam kehidupan bermasyarakat? Menurut Habermas, Weber menjawab pertanyaan tersebut dengan memfokuskan analisanya pada proses institusionalisasi tindakan rasional bertujuan, yang secara struktural mempengaruhi pola pikir masyarakat antara abad ke-16 sampai ke-18. Penterjemahan tindakan rasional bertujuan ke taraf institusi tersebut paling jelas terlihat pada ekonomi kapitalis dan sistem administrasi birokratis negara modern. Relasi antar buruh dan majikan, antara pejabat dan rakyatnya bersifat rasional, dalam arti tindakan rasional bertujuan. Habermas juga menegaskan bahwa proses institusionalisasi ini merupakan penetapan subsistem-subsistem tindakan rasional bertujuan dalam bentuk perusahaan kapitalis, dan lembaga pemerintahan modern. Dengan demikian, hakekat rasionalisasi di taraf kehidupan bermasyarakat adalah institusionalisasi tindakan rasional bertujuan ke dalam bentuk ekonomi bisnis kapitalis, dan sistem administrasi birokratis negara modern.
Secara runtut, Weber lalu menjelaskan bahwa rasionalisasi “dari atas”, yang merupakan perwujudan kesadaran kapitalis itu, berkaitan erat dengan etika Protestan tentang panggilan hidup. Dalam perspektif etika Protestan, sukses seseorang dalam hidupnya bukan merupakan sarana untuk mencapai keselamatan, melainkan tanda bahwa Allah menyelamatkan orang tersebut. Oleh karena itu, sikap-sikap berkeutamaan seperti rajin, teliti, hemat, dan berpusat pada tindakan rasional bertujuan menjadi penopang bagi panggilan hidup manusia. Etika kerja inilah yang menjadi ciri dari perilaku “metodis” pada wiraswastawan. Disebut metodis, karena mereka mengobyektifkan medan kerja mereka, sehingga relasi dan interaksi di dalam dunia kerja netral dari penilaian baik buruk, dan difokuskan untuk mewujudkan kepentingan orang itu. Dengan demikian, etika Protestan menjadi kondisi yang sangat subur bagi lahirnya tindakan rasional bertujuan dalam dunia sosial.

3.3 Krisis Rasionalisasi: Hilangnya Makna.
Dalam The Theory of Communicative Action, Habermas menganalisa teori Weber lebih jauh. Menurut Weber, etika Protestan hanya mempersiapkan kondisi-kondisi awal yang mendukung lahirnya masyarakat kapitalis. Akan tetapi, etika ini tidak mampu menjaga stabilitasnya sendiri. Etika itu pun akhirnya merosot dan dihisap habis ke dalam logika rasionalitas tujuan. Dengan demikian, Weber sendiri sudah memberikan diagnosanya tentang pola penghancuran diri dari proses rasionalisasi yang terjadi di dalam masyarakat. Rasionalisasi, disatu sisi, telah menghasilakan efek-efek positif dan emansipatoris bagi kehidupan manusia. Disisi lain, proses rasionalisasi juga menciptakan krisis makna dan hilangnya kebebasan. Menurut Weber, subsistem tindakan rasional bertujuan telah tercerabut dari akar masyarakatnya sendiri, menjadi independen, dan mengikuti dinamikanya sendiri.
Sebagaimana sudah diulas diatas, rasionalisasi kebudayaan telah menyebabkan struktur-struktur kesadaran terdiferensiasi ke dalam bidang-bidang nilai kultural yang otonom, seperti kognitif, etis-normatif, dan ekspresif. Ketiga bentuk nilai kebudayaan tersebut terwujud dalam pengetahuan, komunitas, dan seni. Dalam kebudayaan modern, segi kognitif dan berkembang dan terealisasi di dalam kemakmuran ekonomi dan kekuasan politis negara modern. Sedangkan, kegiatan artistis terwujud dalam bentuk budaya anti kemapanan yang bersifat hedonistis-seksual. Kedua hal tersebut tentu saja berlawanan dengan etika Protestan yang religius itu, dan, terlebih lagi, saling bertentangan satu sama lain. Dengan kata lain, orientasi-orientasi nilai lama telah tercerabut dari basis religiusnya, dan digantikan dengan tindakan instrumental dan hedonistis. Dalam pertentangan nilai tersebut, nilai-nilai kognitif yang instrumental telah menghancurkan nilai etis normatif etika Protestan, dan nilai artistis seni. Keduanya dianggap tak bermakna.
Habermas secara definitif menyetujui hasil analisa Weber tersebut. Proses demitologisasi, mekanisasi produksi, dan birokratisasi kebudayaan dan masyarakat telah menciptakan rasa keterasingan dan putus asa. Akan tetapi, ada satu hal yang kiranya proses rasionalisasi sumbangkan dan tak tergantikan, yakni paham otonomi individu di hadapan tradisi, munculnya karya seni baru yang eksploratif dan kreatif, serta etos demokratis yang komunikatif dalam sistem politik. Habermas berpendapat bahwa teori rasionalisasi Weber harus direkonstruksi, sehingga kita dapat melihat dan menilai rasionalisasi dalam kebudayaan modern yang telah mengalami krisis.

4. Kesimpulan
Salah satu tujuan Teori Kritis adalah untuk membantu proses refleksi diri kebudayaan dan masyarakat atas proses perkembangannya sendiri. Dalam kerangka teori rasionalisasi, proses pembentukan diri kebudayaan dan masyarakat berarti proses menuju rasionalitas, otonomi, dan kedewasaan. Oleh karena itu, disamping teori-teori Marxis, analisa Weber juga sangat berguna untuk membantu Teori Kritis merumuskan dinamika perkembangan masyarakat. Dalam Toward a Rational Society, Habermas telah membuka ruang yang lebih luas untuk proyek rasionalisasi masyarakat. Bagi dia, modernisasi berjalan timpang karena mengutamakan rasionalisasi dalam bidang subsistem tindakan rasional bertujuan, sekaligus mengesampingkan rasionalisasi di bidang kerangka kerja institusional, atau komunikasi. Rasionalisasi di bidang komunikasi adalah ciri khas teori rasionalisasi Habermas.
Dalam The Theory of Communicative Action, Habermas secara lebih mendetil mengkritik modernisasi kapitalistis, yang memutlakkan eksistensi rasionalitas kognitif instrumental. Rasionalitas instrumental tersebut terwujud dalam bentuk kekuasaan politis dan kemakmuran ekonomis, yang berpadu dengan hedonisme dan konsumerisme. Pemutlakkan itu menyebabkan hilangnya makna, karena bentuk rasionalitas lain yang dikesampingkan, yakni rasionalitas praktis-moral. Masalahnya terletak pada tidak seimbangnya realisasi ketiga bentuk rasionalitas yang ada di dalam kehidupan sosial.
Di titik ini, Habermas mengambil sikap yang berbeda dengan Teori Kritis Frankfurt generasi pertama. Ia juga tidak setuju sepenuhnya dengan teori rasionalisasi Weber. Ketika Teori Kritis Frankfurt melihat ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bentuk-bentuk penindasan, Habermas justru melihat bahwa ilmu dan teknologi sebagai faktor potensial emansipasi dan pengembangan masyarakat. Akan tetapi, semua proses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilancarkan dalam kedudukan yang seimbang dengan perkembangan di bidang hukum, moralitas, dan seni. Ia menegaskan agar unsur kognitif, evaluatis-moral, dan ekspresif kebudayaan diterjemahkan secara memadai dan seimbang dalam institusi-institusi sosial. Masalahnya kembali kepada siapa yang mengendalikan sistem sosial, dan bagaimana arah dan strategi kebudayaan dalam suatu masyarakat dapat berjalan. Di titik ini, Habermas telah berhasil merumuskan proses belajar yang sudah sadar akan bahaya-bahaya pemutlakkan rasionalitas instrumental, dan menindas bentuk-bentuk rasionalitas yang lain. Dengan demikian, rasionalisasi dunia kehidupan dan kebudayaan sebagai proyek pencerahan belumlah selesai.

3 komentar:

  1. Hei Friend.... sumbernya diambil dari buku apa ya?

    BalasHapus
  2. kalo yg rasionalisasi hukum di indonesia sendiri seperti apa?

    BalasHapus
  3. referensinya dr mana ya prend.

    BalasHapus