1. PENGERTTIAN KONFLIK
Konflik berasal dari kata Conligere (bahasa latin) yang berarti menyerang bersama-sama
Menurut Mitchell ( 1981) Konflik adalah sebuah situasi dalam mana dua
atau lebih orang saling mencapai tujuan-tujuan yang dikehendakinya
tetapi hanya salah satu yang berhasil mencapainya.
Menurut James A. Schellenberg (1966) Konflik adalah situasi dimana
Individu atau kelompok yang lain dalam rangka merebut sesuatu yang
dikehendakii berdasarkan pada persaingan kepentingan-kepentingan karena
perbedaan identitas atau sikap.
Menurut Louis Kiesberg (1988) Konflik sosial adalah fenomen umum yaitu
hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok ) yang
memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan.
Teori Resolusi konflik.
Resolusi konflik menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai
suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam
beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Resolusi konflik
juga berupaya menciptakan suatu mekanisme penyelesaian konflik secara
komprehensif dalam tiap-tiap tahap eskalasi konflik. Pada intinya, teori
resolusi konflik mengedepankan prinsip-prinsip bahwa;
1) konflik tidak dapat dipandang sebagai suatu fenomena
politik-militeristik namun juga harus dilihat sebagai suatu fenomena
sosial,
2) konflik memiliki suatu siklus hidup yang tidak berjalan linear, sangat bergantung pada dinamika lingkungan konflik,
3) sebab-sebab konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel
tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat melainkan
harus dilihat sebagai fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat
berbagai faktor,
4) resolusi konflik hanya diterapkan secara optimal jika
dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang
relevan.
Perang sebagai alternatif terakhir untuk menyelesaikan konflik dan
wajibnya digali alternatif-alternatif resolusi konflik dengan cara
damai, menjadi dua prinsip utama kaum “peace researcher” yang berupaya
mengembangkan beragam mekanisme resolusi konflik. Salah satu pemikir
teori resolusi konflik adalah John Burton yang mengembangkan kategori
baru untuk resolusi konflik yang dikenal sebagai problem-solving
approach. Menurut Burton, konflik tidak dapat diselesaikan dengan
kekuatan bersenjata dan juga dengan negosiasi antarpihak yang bertikai.
Resolusi konflik tidak berakhir di merja negosiasi namun merupakan
suatu proses untuk menciptakan suatu struktur baru yang kondusif bagi
pemenuhan kebutuhan dasar manusia.
Upaya menciptakan institusi yang efektif untuk menyelesaikan konflik dilakukan dengan dua cara;
1) mengembangkan prosedur resolusi konflik (conflict prevention,
conflict management, conflict resolution and conflict provention) yang
di dalamnya terdapat upaya untuk mengembangkan proses fasilitasi,
merancang strategi keterlibatan pihak ketiga, memulai proses perubahan
struktural yang diperlukan untuk menghilangkan sebab-sebab fundamental
konflik, dan
2) memulai perubahan struktural dengan mengidentifikasi potensi
kekerasan struktural (structural violence) yang terdapat dalam sistem
dan kemudian dapat dirancang solusi-solusi yang mungkin diterapkan
untuk menghilangkannya. Proses merancang solusi tersebut akan memaksa
negara untuk secara kolektif mengeksplorasi cara-cara non-kekerasan
untuk menyelesaikan sengketa dan menempatkan instrumen perang sebagai
alternatif terakhir.
Teori Organisasi Internasional
Organisasi Internasional menurut S, Cheevers dan H. Field Haviland, Jr
KESAWAN buku Organisasi Internasional di World Affairs, mengemukakan
bahwa: … “setiap institude pengaturan kooperatif antara negara-negara
ussully oleh kesepakatan dasar, untuk melakukan beberapa fungsi yang
saling menguntungkan melaksanakan melalui rapat berkala dan staf
kegiatan.
Boer Mauna dalam bukunya Hukum Organisasi international, menegaskan
“Organisasi Internasional adalah suatu perhimpunan Negara-negara yang
merdeka dan berdaulat yang bertujuan untuk mancapai kepentingan bersama
melalui organ-organ dari perhimpunan itu sendiri”.
Peran dan Fungsi Organisasi Internasional
Peran organisasi Internasional dalam politik dan hubungan
Internasional telah lama diakuai oleh masyarakat internasional baik
yang terdiri Negara-negara maupun non Negara sebagai wadah dalam
memecahkan masalah-masalah bersama. Menurut Le Roy Bennet, peranan OI
dapat dikategorikan sebagai:
1. Arena, yaitu tempat bertemunya bagi anggota-anggotanya untuk membicaakan masalah bersama.
2. Instrumen, yakni keberadaan suatu Organisasi Internasional sering
digunakan oleh Negara-negara untuk mencapai tujuan tertentu dalam rangka
kepentingan nasionalnya.
3. Aktor independen, sebagian besar Organisasi Internasional dapat
membuat keputusan-keputusan sendiri tanpa dipengaruhi kekuasaan dari
luar Organisasi internasional yang bersangkutan.
2. 4 TAHAP RESOLUSI KONFLIK
Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah
yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses
terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap
sesuai dengan dinamika siklus konflik. Penjabaran tahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan:
Pertama, konflik tidak boleh hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun harus dilihat sebagai suatu fenomena sosial.
Kedua, konflik memiliki suatu siklus hidup yang
tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik yang spesifik sangat
tergantung dari dinamika lingkungan konflik yang spesifik pula.
Ketiga, sebab-sebab suatu konflik tidak dapat
direduksi ke dalam suatu variabel tunggal dalam bentuk suatu proposisi
kausalitas bivariat. Suatu konflik sosial harus dilihat sebagai suatu
fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor.
Terakhir, resolusi konflik hanya dapat diterapkan
secara optimal jika dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian
konflik lain yang relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat
diterapkan secara efektif jika dikaitkan dengan upaya komprehensif
untuk mewujudkan perdamaian yang langgeng.
Secara empirik, resolusi konflik dilakukan dalam empat
tahap. Tahap pertama masih didominasi oleh strategi militer yang
berupaya untuk mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi. Tahap
kedua memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai proses
re-integrasi elit politik dari kelompok-kelompok yang bertikai. Tahap
ketiga lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan
problem-solving approach. Tahap terakhir memiliki nuansa kultural yang
kental karena tahap ini bertujuan untuk melakukan perombakan-perombakan
struktur sosial-budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas
perdamaian yang langgeng.
1. De-eskalasi Konflik
Di tahap pertama, konflik yang terjadi masih diwarnai oleh pertikaian
bersenjata yang memakan korban jiwa sehingga pengusung resolusi konflik
berupaya untuk menemukan waktu yang tepat untuk memulai (entry point)
proses resolusi konflik. Tahap ini masih berurusan dengan adanya
konflik bersenjata sehingga proses resolusi konflik terpaksa harus
bergandengan tangan dengan orientasi-orientasi militer. Proses resolusi
konflik dapat dimulai jika mulai didapat indikasi bahwa pihak-pihak yang
bertikai akan menurunkan tingkat eskalasi konflik.
Kajian tentang entry point ini didominasi oleh pendapat Zartman (1985) tentang kondisi “hurting stalemate”.
Saat kondisi ini muncul, pihak-pihak yang bertikai lebih terbuka untuk
menerima opsi perundingan untuk mengurangi beban biaya kekerasan yang
meningkat. Pendapat ini didukung oleh Bloomfied, Nupen dan Haris (2000).
Namun, ripeness thesis ini ditolak oleh Burton (1990, 88-90) yang
menyatakan bahwa
“problem-solving conflict resolution seeks to make possible
more accurate prediction and costing, together with the discovery of
viable options, that would make this ripening unnecessary”.
Dengan demikian, entry point juga dapat diciptakan jika ada pihak ketiga
yang dapat menurunkan eskalasi konflik (Kriesberg: 1991). De-eskalasi
ini dapat dilakukan dengan melakukan intervensi militer yang dapat
dilakukan oleh pihak ketiga internasional berdasarkan mandat BAB VI dan
VII Piagam PBB (Crocker, 1996).
Operasi militer untuk menurunkan eskalasi konflik merupakan suatu tugas
berat yang mendapat perhatian besar dari beberapa ageni internasional.
UNHCR, misalnya, telah menerbitkan suatu panduan operasi militer pada
tahun 1995 yang berjudul
“A UNHCR Handbook For The Military On Humanitarian Operations”.
Panduan yang sama juga telah dipublikasikan oleh Institute for
International Studies, Brown University pada tahun 1997 dengan judul “A Guide to Peace Support Operations”.
2. Intervensi Kemanusiaan dan Negosiasi Politik
Ketika de-eskalasi konflik sudah terjadi, maka tahap kedua proses resolusi konflik
dapat dimulai bersamaan dengan penerapan intervensi kemanusiaan untuk
meringankan beban penderitaan korban-korban konflik (Anderson, 1996).
Intervensi kemanusiaan ini dilakukan dengan menerapkan prinsip mid-war
operations (Loescher dan Dwoty: 1996; Widjajanto: 2000). Prinsip ini
–yang merupakan salah satu perubahan dasar dari intervensi kemanusiaan
di dekade 90-an, mengharuskan intervensi kemanusiaan untuk tidak lagi
bergerak di lingkungan pinggiran konflik bersenjata tetapi harus bisa
mendekati titik sentral peperangan. Hal ini didasarkan pada kenyataan
bahwa korban sipil dan potensi pelanggaran HAM terbesar ada di pusat
peperangan dan di lokasi tersebut tidak ada yang bisa melakukan operasi
penyelamatan selain pihak ketiga. Dengan demikian, bentuk-bentuk aksi
kemanusian minimalis yang hanya menangani masalah defisiensi komoditas
pokok (commodity-based humanitarianism) dianggap tidak lagi memadai.
Intervensi kemanusiaan tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan usaha
untuk membuka peluang (entry) diadakannya negosiasi antar elit. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa tahap ini kental dengan orientasi politik
yang bertujuan untuk mencari kesepakatan politik (political settlement)
antara aktor konflik.
3. Problem-solving Approach
Tahap ketiga dari proses resolusi konflik adalah problem-solving yang memiliki orientasi sosial.
Tahap ini diarahkan menciptakan suatu kondisi yang kondusif bagi
pihak-pihak antagonis untuk melakukan transformasi suatu konflik yang
spesifik ke arah resolusi (Jabri: 1996, 149).
Transformasi konflik dapat dikatakan berhasil jika dua kelompok yang
bertikai dapat mencapai pemahaman timbal-balik (mutual understanding)
tentang cara untuk mengeskplorasi alternatif-alternatif penyelesaian
konflik yang dapat langsung dikerjakan oleh masing-masing komunitas.
Alternatif-alternatif solusi konflik tersebut dapat digali jika ada
suatu institusi resolusi konflik yang berupaya untuk menemukan
sebab-sebab fundamental dari suatu konflik. Bagi Burton (1990, 202),
sebab-sebab fundamental tersebut hanya dapat ditemukan jika konflik yang
terjadi dianalisa dalam konteks yang menyeluruh (total environment).
Aplikasi empirik dari problem-solving approach ini dikembangkan oleh
misalnya, Rothman (1992, 30) yang menawarkan empat komponen utama proses
problem-solving. Komponen pertama adalah masing-masing pihak mengakui
legitimasi pihak lain untuk melakukan inisiatif komunikasi tingkat awal.
Komponen kedua adalah masing-masing pihak memberikan informasi yang
benar kepada pihak lain tentang kompleksitas konflik yang meliputi
sebab-sebab konflik, trauma-trauma yang timbul selama konflik, dan
kendala-kendala struktural yang akan menghambat fleksibilitas mereka
dalam melakukan proses resolusi konflik. Komponen ketiga adalah kedua
belah pihak secara bertahap menemukan pola interaksi yang diinginkan
untuk mengkomunikasikan signal-signal perdamaian. Komponen terakhir
adalah problem-solving workshop yang berupaya menyediakan suatu suasana
yang kondusif bagi pihak-pihak bertikai untuk melakukan proses (tidak
langsung mencari outcome) resolusi konflik.
4. Peace-building
Tahap keempat adalah peace-building yang meliputi tahap transisi, tahap rekonsiliasi dan tahap konsolidasi. Tahap ini merupakan tahapan terberat dan akan memakan waktu paling lama karena memiliki orientasi struktural dan kultural.
Kajian tentang tahap transisi, misalnya, dilakukan oleh Ben Reily (2000,
135-283) yang telah mengembangkan berbagai mekanisme transisi demokrasi
bagi masyarakat pasca-konflik . Mekanisme transisi tersebut meliputi
lima proses yaitu:
(1) pemilihan bentuk struktur negara;
(2) pelimpahan kedaulatan negara;
(3) pembentukan sistem trias-politica;
(4) pembentukan sistem pemilihan umum;
(5) pemilihan bahasa nasional untuk masyarakat multi-etnik; dan
(6) pembentukan sistem peradilan.
Tahap kedua dari proses peace-building adalah rekonsiliasi. Rekonsiliasi
perlu dilakukan jika potensi konflik terdalam yang akan dialami oleh
suatu komunitas adalah rapuhnya kohesi sosial masyarakat karena beragam
kekerasan struktural yang terjadi dalam dinamika sejarah komunitas
tersebut .
Tahap terakhir dari proses peace-building adalah tahap konsolidasi.
Dalam tahap konsolidasi ini, semboyan utama yang ingin ditegakkan adalah
“Quo Desiderat Pacem, Praeparet Pacem”. Semboyan ini
mengharuskan aktor-aktor yang relevan untuk terus menerus melakukan
intervensi perdamaian terhadap struktur sosial dengan dua tujuan utama
yaitu mencegah terulangnya lagi konflik yang melibatkan kekerasan
bersenjata serta mengkonstruksikan proses perdamaian langgeng yang dapat dijalankan sendiri oleh pihak-pihak yang bertikai. (Miall: 2000, 302-344).
Dua tujuan tersebut dapat dicapai dengan merancang dua kegiatan.
Kegiatan pertama adalah mengoperasionalkan indikator
sistem peringatan dini (early warning system, Widjajanto: 2001) Sistem
peringatan dini ini diharapkan dapat menyediakan ruang manuver yang
cukup luas bagi beragam aktor resolusi konflik dan memperkecil
kemungkinan penggunaan kekerasan bersenjata untuk mengelola konflik.
Sistem peringatan dini ini juga dapat dijadikan tonggak untuk melakukan
preventive diplomacy yang oleh Lund (1996, 384-385) didefinisikan
sebagai:
“preventive diplomacy, or conflict prevention, consists of
governmental or non-governmental actions, policies, and institutions
that are taken deliberately to keep particular states or organized
groups within them from threatening or using organized violence, armed
force, or related forms of coercion such as repression as the means to
settle interstate or national political disputes, especially in
situations where the existing means cannot peacefully manage the
destabilizing effects of economic, social, political, and international
change”.
Kedua, perlu dikembangkan beragam mekanisme resolusi
konflik lokal yang melibatkan sebanyak mungkin aktor-aktor non militer
di berbagai tingkat eskalasi konflik (Widjajanto: 2001). Aktor-aktor
resolusi konflik tersebut dapat saja melibatkan Non-Governmental
Organisations (NGOs) (Aall:1996), mediator internasional (Zartman dan
Touval: 1996), atau institusi keagamaan (Sampson: 1997; Lederach: 1997).
Tulisan ini telah berusaha menghadirkan empat tahap resolusi konflik.
Keempat tahap resolusi konflik tersebut harus dilihat sebagai suatu
kesatuan yang tidak dapat dijalankan secara terpisah. Kegagalan untuk
mencapai tujuan disatu tahap akan berakibat tidak sempurnanya proses
pengelolaan konflik di tahap lain. Tahap-tahap tersebut juga menunjukkan
bahwa resolusi konflik menempatkan perdamaian sebagai suatu proses
terbuka yang tidak pernah berakhir. Perdamaian memerlukan upaya terus
menerus untuk melakukan identifikasi dan eliminasi terhadap potensi
kemunculan kekerasan struktural di suatu komunitas.
M30s-HARTS® MAGNET TINY® EDGE MAGNET TINY®
BalasHapusM30s-HARTS® MAGNET titanium earring posts TINY® MAGNET TINY® MAGNET TINY® MAGNET TINY® titanium color MAGNET TINY® MAGNET titanium damascus TINY® MAGNET TINY® MAGNET TINY® MAGNET TINY® MAGNET womens titanium wedding bands TINY® $45.00 · In stock titanium apple watch band